Kontroversi Iklan Pemerintah di Bioskop: Komunikasi Publik atau Propaganda?

Rabu 17 Sep 2025 - 20:05 WIB
Reporter : Bambang Samudera
Editor : Dahlia

Bioskop adalah ruang hiburan netral.

Penonton membayar tiket untuk menonton film, bukan untuk disuguhi pesan politik.

Penayangan iklan di ruang tersebut berisiko memunculkan resistensi atau bahkan kontra-produktif.

Dalam perspektif komunikasi, hal ini disebut efek reaktansi. Alih-alih menerima pesan, audiens merasa dipaksa, sehingga menolak isi pesan secara lebih keras.

Kritik di media sosial beberapa hari terakhir menunjukkan potensi efek ini.

Selain itu, jika pesan hanya menonjolkan capaian, tanpa memberi ruang bagi publik untuk memverifikasi data, publik bisa menganggapnya propaganda.

Perbedaan antara komunikasi publik yang sehat dan propaganda terletak pada transparansi, keterbukaan sumber, serta kesempatan publik untuk menilai secara kritis.

Sejumlah negara memberikan pelajaran berharga.

Uni Eropa melalui Digital Services Act (DSA) mewajibkan iklan politik diberi label jelas, termasuk siapa pengirimnya dan siapa yang membiayai.

Aturan tambahan soal political advertising regulation menekankan pentingnya transparansi dan larangan manipulasi.

Di Amerika Serikat, setiap iklan politik wajib memuat keterangan paid for by atau sponsored by agar publik mengetahui sumbernya.

Jerman dengan NetzDG juga menuntut platform digital bertanggung jawab atas keterbukaan iklan politik.

Prinsip yang bisa diambil adalah: iklan boleh, tetapi harus transparan dan tidak mengganggu ruang publik netral. Tanpa itu, kepercayaan publik akan menurun.

Indonesia memiliki regulasi terkait iklan politik di televisi dan radio, misalnya aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjelang pemilu, namun iklan pemerintah di bioskop belum diatur secara spesifik.

Celah regulasi ini perlu segera ditutup.

Kita juga punya pengalaman masa lalu. Pada era Orde Baru, iklan capaian pembangunan diputar secara masif di media arus utama.

Kategori :