Halte Transjakarta, hotel, dan gedung pemerintahan rusak akibat penjarahan dan kebakaran, seperti tercatat di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.
Dampak serupa terjadi di Pulau Dewata, Bali, di mana aparat TNI-Polri harus memperketat pengamanan pintu masuk bandara dan pelabuhan, seperti yang dikemukakan oleh Gubernur Bali Wayan Koster.
Data dari studi Liu (2024) menyebutkan bahwa kesiapan infrastruktur dan keamanan berbanding lurus dengan tingkat pemulihan destinasi pasca bencana.
Penelitian Shah dan Hussain (2024) juga menegaskan bahwa strategi manajemen krisis yang mencakup keamanan, komunikasi, promosi, dan rehabilitasi mempercepat pemulihan pasar tujuan wisata, sehingga relevan diterapkan di seluruh Indonesia.
Strategi nasional untuk pemulihan pariwisata harus berbasis lima pilar utama: keamanan, rehabilitasi infrastruktur, komunikasi publik, diversifikasi atraksi, dan keterlibatan komunitas.
Pertama, keamanan harus terpadu dengan patroli visible di destinasi utama, zona aman untuk wisatawan di bandara, pelabuhan, dan hotel, serta pengadaan aplikasi digital real-time untuk informasi keamanan dan rute aman.
Kedua, rehabilitasi fasilitas rusak, dari halte Transjakarta hingga museum, harus dipercepat melalui koordinasi pemerintah pusat, BUMN, dan sektor swasta, seperti yang terbukti berhasil di Boracay, Filipina, dan Tanjung Lesung, Banten, dikutip dari jurnal Covalue, 2023.
Ketiga, komunikasi publik yang proaktif sangat penting untuk membangun kembali kepercayaan wisatawan.
Dalam hal ini, kampanye media nasional dan internasional yang menegaskan keamanan, didukung notifikasi real-time dan travel advisory, dapat mengurangi persepsi risiko.
Keempat, diversifikasi atraksi dan event budaya, termasuk hybrid virtual tourism dan micro-experiences, dapat mendorong kunjungan wisatawan tanpa menimbulkan risiko kerumunan.
Program insentif, seperti dikutip dari FT.com dan Courier Mail, voucher wisata aman dan diskon transportasi, juga terbukti menstimulasi pergerakan wisatawan, sebagaimana diterapkan di Mesir pasca konflik 2023 dan Whitsundays, Australia.
Kelima, keterlibatan komunitas lokal, tokoh adat, dan pemuka agama merupakan fondasi strategi mitigasi yang efektif.
Forum dialog dan apel keamanan lokal, seperti yang dilakukan pecalang Bali, menurunkan risiko konflik lanjutan dan memperkuat citra destinasi sebagai tempat aman.
Studi Susanto dan Sushartami (2020) menunjukkan bahwa komunikasi krisis yang melibatkan masyarakat meningkatkan persepsi aman dan kenyamanan wisatawan.
Implementasi strategi mitigasi tersebut secara sistematis akan menghasilkan pemulihan pariwisata secara cepat dan berkelanjutan.
Keberhasilan strategi ini bisa dilihat dari berbagai indikator termasuk peningkatan jumlah wisatawan domestik dan internasional, pendapatan sektor pariwisata, dan persepsi aman wisatawan.