Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah: Guncang Politik, Picu Pro-Kontra

Senin 28 Jul 2025 - 16:18 WIB
Reporter : Bambang Samudera
Editor : Dahlia

“Jika menafsirkan konstitusi dapat berubah secara ekstrim dalam rentang waktu singkat, sekitar berapa tahun, maka rakyat akan kehilangan kepastian dan sistem hukum kita akan kehilangan pegangan,” tuturnya.

BACA JUGA:Tak Ada Moratorium, Pembangunan IKN Tetap Jalan Sesuai Target Pemerintah

BACA JUGA:Paripurna Beragenda RUU Haji hingga Pidato Penutupan

Bagi Adies, ihwal jadwal keserentakan pemilu sejatinya bersifat open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.

MK, kata dia, seharusnya tidak berwenang untuk mengotak-atik itu. Ia pun menyebut MK seharusnya menjadi negative legislature, alih-alih positive legislature.

Dalam tataran ini, Adies memandang tugas MK hanya sebatas menilai bertentangan atau tidaknya suatu norma undang-undang terhadap UUD, bukan membentuk norma baru.

“Apa yang dilakukan MK, menurut beberapa ahli juga, telah melampaui fungsi yudikatif,” katanya.

BACA JUGA:Tinjau Alih Status Bandara di IKN dari VVIP Jadi Umum

BACA JUGA:Kerahkan TNI Produksi Obat Murah untuk Masyarakat

Lebih dari itu, Adies menyebut pemisahan pemilu nasional dan daerah berpotensi membuka ruang politisasi birokrasi hingga mengancam prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.

Ia khawatir program pemerintah pusat tidak berjalan maksimal.

“Kita bisa bayangkan kalau presiden terpilih, kemudian pemilihan kepala daerah dua setengah tahun kemudian. Apa jadinya pembangunan di kabupaten/kota kalau hanya mendapatkan waktu dua tahun mereka hanya baru menyosialisasikan program, kemudian setengah tahun melaksanakan?” kata Adies.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD mengemukakan lima alternatif setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah atau lokal.

Opsi pertama yang diutarakan Mahfud, yaitu memperpanjang masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah hasil pemilihan tahun 2024 tanpa menggelar pemilihan ulang, tetapi hanya dengan undang-undang.

“Apa boleh, Pak? Boleh karena ketentuan-ketentuan mengenai pemilu, perpanjangannya, penundaannya, dan sebagainya itu diatur dengan undang-undang,” kata mantan Ketua MK itu dalam diskusi publik di Jakarta.

Untuk menjalankan alternatif itu, Mahfud mengatakan DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang perlu merevisi peraturan perundang-undangan guna mengakomodasi transisi perpanjangan masa jabatan DPRD dan kepala daerah.

Kategori :