JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengatakan bahwa eliminasi penyakit tuberkulosis (TBC) yang masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), bukan hanya merupakan isu medis, melainkan juga menyangkut keadilan sosial.
Dia pun prihatin bahwa saat ini di Indonesia masih tinggi, sehingga pencapaian target RPJMN 2020-2024 belum optimal. Menurut dia, pemerintah tidak boleh berdamai dengan angka kematian dari TBC, karena hal itu bisa dicegah.
"Saya yakin bukan hanya persoalan medis ini soal keadilan sosial dan hak rakyat Indonesia untuk hidup sehat dan sejahtera," kata Nurhadi dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis (8/5).
BACA JUGA:BKSAP Dukung Penyelesaian Damai dan Deeskalasi
BACA JUGA:Mendagri Dorong Percepatan Realisasi APBD 2025 untuk Ekonomi Daerah
Menurut dia, pada tahun lalu Indonesia mencatat ada sebanyak 387 kasus TBC per 100.000 penduduk. Angka itu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus TBC tertinggi kedua di dunia.
Dia menilai persoalan masih maraknya penyakit TBC di Indonesia ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi menyangkut perencanaan dan tata kelola program yang belum optimal.
"Saya kira ini tidak sekedar permasalahan teknis saja tapi kaitannya dengan perencanaan ataupun juga tata kelola yang perlu diperbaiki," katanya.
BACA JUGA:Bakal Diatur di RUU Sisdiknas
BACA JUGA:Wamendagri Ajak Wali Kota Optimalkan Peran Anak Muda
Dia pun mengkritisi fragmentasi pelaksanaan program antara berbagai lini pemerintahan dan sektor.
Pasalnya, anggarannya untuk mengeliminasi penyakit TBC itu sudah sangat besar, tetapi pelaksanaannya belum optimal.
"Saya masih merasa seperti terfragmentasi antara pusat dan daerah, antara faskes publik atau swasta dan antara kesehatan dan infrastruktur," kata dia.
BACA JUGA:TNI Berlakukan Razia Gawai Prajurit
BACA JUGA:DPR Ancam Tahan Dana Transfer