Presiden menginstruksikan kepada Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan untuk membuka peluang impor bagi siapapun.
“Siapa saja boleh impor. Mau impor apa, silahkan buka saja. Rakyat kita juga pandai kok, iya kan. Bikin kuota-kuota, abis itu perusahaan A, B, C, D yang hanya ditunjuk. Hanya dia boleh impor, enak saja,” lanjutnya. Selain isu kuota, Presiden juga memberikan perhatian serius terhadap praktik penyelundupan dan hambatan di sektor bea cukai.
Ia menyampaikan apresiasi atas berbagai masukan dari pelaku usaha dan menegaskan bahwa pemerintah akan segera bertindak jika ditemukan implementasi yang tidak sesuai.
“Kalau ada lagi implementasi yang kurang bagus, segera laporkan. Segera laporkan kita bertindak,” tutur Presiden.
BACA JUGA:Ini Waktu Favorit Arus Balik Mudik Lebaran 2025 Menurut Jasamarga
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Dr. MH Thamrin MSi, memberikan tanggapannya terkait kebijakan penghapusan kuota impor yang baru saja dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Dr. Thamrin, kebijakan ini sangat terkait dengan situasi global saat ini, khususnya pasca kebijakan proteksionisme yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang dikenal dengan kebijakan "Trump 2.0."
"Dunia saat ini sedang menghadapi babak baru dari gelombang proteksionisme. Kebijakan tarif tinggi oleh Presiden Trump versi 2.0 telah menciptakan ketidakpastian dan berpotensi memicu kembali perang dagang besar, terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok," ujar Dr. Thamrin. Dalam situasi ini, Presiden Prabowo, menurutnya, tampaknya ingin menunjukkan bahwa Indonesia tetap terbuka terhadap perdagangan global, berbeda dengan beberapa negara lain yang cenderung menutup diri dan mengamankan produksi domestik mereka.
Namun, Dr. Thamrin juga menekankan bahwa strategi membuka impor secara bebas memiliki risiko besar, terutama jika dilakukan secara serentak tanpa adanya perlindungan terhadap sektor-sektor domestik yang rentan, seperti pertanian dan industri kecil.
Ia mengingatkan bahwa di saat negara-negara lain sedang mengamankan produksi domestik, Indonesia justru membuka keran impor dengan lebar.
Hal ini bisa menciptakan asimetri dan kerentanan struktural dalam perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
"Jika kebijakan ini tidak disertai dengan perlindungan terhadap sektor-sektor yang rentan, maka kita berisiko kehilangan kedaulatan produksi dan semakin tergantung pada luar negeri," jelas Dr. Thamrin.
Sebagai solusi, Dr. Thamrin menyarankan agar Indonesia mengadopsi strategi "keterbukaan cerdas." Ini berarti Indonesia harus tetap terbuka terhadap peluang global, namun tetap menjaga ketahanan ekonomi nasional dengan memperkuat sektor domestik.
"Tanpa penguatan sektor domestik, kebijakan impor bebas justru bisa menjadi bumerang yang merugikan ekonomi kita," tambahnya.
Menurutnya, langkah Indonesia ke depan haruslah dilakukan secara selektif, bertahap, dan terukur.
Dengan begitu, Indonesia bisa memanfaatkan peluang perdagangan global tanpa mengorbankan kestabilan ekonomi domestik.