Dalam naskah ini, istilah ngemis dihubungkan dengan tradisi pemberian bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
Pada tahun 1939, kata ngemis mendapatkan pengertian yang lebih spesifik, yaitu meminta bantuan dana, atau dalam bahasa Jawa disebut njaluk dana.
Pada masa kerajaan, khususnya di Jawa, tradisi sedekah memiliki peran penting dalam hubungan antara raja dan rakyatnya.
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Suku Ogan Ilir : Warisan Budaya Besemah yang Hidup di Sepanjang Sungai Ogan !
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Sumatera Selatan : Dari Kejayaan Sriwijaya hingga Modernisasi Zaman !
Raja dianggap sebagai perwujudan kekuasaan ilahi yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat.
Salah satu bentuk tanggung jawab tersebut adalah memberikan sedekah kepada rakyat miskin.
Setiap hari Kamis, sebelum memasuki hari Jumat yang dianggap suci, raja atau sultan biasanya keluar dari istana untuk bertemu rakyat.
Dalam kesempatan ini, mereka membagikan sedekah berupa makanan, pakaian, atau uang kepada kaum tidak mampu.
Tradisi ini dilakukan sebagai wujud kasih sayang dan kepedulian terhadap rakyat sekaligus bagian dari ritual keagamaan.
Bagi masyarakat tidak mampu, kesempatan menerima sedekah dari raja menjadi momen yang sangat dinantikan.
Tradisi ini dianggap membawa berkah dan menjadi simbol hubungan harmonis antara penguasa dan rakyat.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ini mengalami perubahan.
Ketika sistem kerajaan mulai ditinggalkan dan masyarakat semakin modern, kegiatan meminta sedekah atau ngemis meluas di luar konteks ritual kerajaan.
Apa yang dahulu merupakan bentuk ritual simbolis kini berubah menjadi fenomena sosial yang lebih kompleks.
Pengemisan atau praktik memohon bantuan kepada orang lain mulai dilakukan oleh individu-individu dengan sedikit atau tanpa harapan imbalan.