“Saat ini tarif Transmusi Palembang untuk pelajar dan lansia Rp2.000, dan masyarakat umum Rp4.000. Namun, pada tahun 2025 kemungkinan akan digratiskan,” katanya pula.
Dia menyarankan pemerintah tetap memberlakukan tarif untuk Transmusi Palembang, agar masyarakat bisa belajar cara mengelola keuangan dengan baik. Lalu, masyarakat juga tidak kaget ketika subsidi gratis itu dicabut pada masa mendatang.
“Pemberlakuan tarif bukan untuk keuntungan perusahaan, karena kami tidak menikmati. Sebab, nanti uang itu dimasukkan ke kas daerah. Uang itu akan bisa digunakan untuk menambah koridor baru,” kata Nata lagi.
Sementara itu, pengurangan jumlah koridor ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga yang bergantung pada layanan Transmusi untuk mobilitas sehari-hari.
Terutama bagi mereka yang tinggal di area yang akan terdampak langsung, seperti Alang-Alang Lebar dan Talang Jambe.
Dimana warga Kota Palembang berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan solusi alternatif untuk menggantikan pengurangan layanan tersebut.
Banyak warga yang mengungkapkan bahwa Transmusi telah menjadi pilihan utama untuk transportasi umum, karena lebih efisien dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi yang dapat menyebabkan kemacetan.
"Saya sangat terbantu dengan adanya Transmusi, terutama untuk pergi bekerja setiap hari. Kalau sampai koridor yang biasa saya pakai dihentikan, saya khawatir akan kembali macet dan susah mencari transportasi umum," ujar Eka, salah seorang warga yang tinggal di kawasan Alang-Alang Lebar, Senin (9/12).
Selain itu, beberapa warga juga menyarankan agar pemerintah mencari cara untuk mengoptimalkan keberadaan dua koridor yang akan dipertahankan, agar dapat mencakup lebih banyak area dan tetap memadai untuk kebutuhan masyarakat.
"Semoga dengan dua koridor yang masih ada, bisa diatur agar lebih banyak orang bisa terangkut, apalagi sekarang kan banyak yang mulai beralih ke transportasi publik," harap Ardi, salah seorang pelajar.
Rini, seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari menggunakan angkutan umum, mengungkapkan kekhawatirannya.
"Dengan hanya dua koridor, saya harus lebih lama menunggu dan bahkan mungkin harus berpindah angkutan lebih dari sekali. Hal ini tentu sangat merepotkan, terutama bagi yang bekerja atau memiliki aktivitas di luar rumah," ujarnya.
Senada dengan Rini, Sandi, seorang karyawan swasta yang tinggal di daerah juga menyampaikan ketidaknyamanannya.
"Saya biasanya menggunakan koridor yang sudah dipangkas. Pengurangan ini tentu akan membuat saya lebih sulit dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk sampai ke tempat kerja," tuturnya.
Warga Kota Palembang berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan dampak dari pengurangan koridor ini.
Salah satunya adalah penambahan frekuensi atau kapasitas angkutan umum di dua koridor yang tersisa.