KORANPALPOS.COM - Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin berharap agar negara dapat lebih banyak membantu dana kampanye pada pemilihan umum (pemilu) dan keuangan partai.
“Kampanye mungkin perlu lebih banyak dibantu sama negara, jadi bantuan keuangan parpol (partai politik),” ujar Zulfikar dalam webinar bertajuk “Agenda Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia”, dipantau dari Jakarta, Senin.
Menurut Zulfikar, langkah tersebut merupakan salah satu upaya untuk menjadikan partai politik sebagai organ publik. Dengan demikian, tidak ada lagi partai politik yang milik perseorangan atau identik dengan perusahaan swasta tertentu.
Dengan pembiayaan yang berasal dari negara, Zulfikar mengatakan partai politik dapat menjadi organ publik yang benar-benar dibiayai oleh publik.
BACA JUGA:Calon Kepala Daerah Dapat Ajukan Gugatan Hasil Pilkada ke MK : Ini Syarat dan Prosedur Gugatan !
“Karena kita ingin menempatkan bahwa ke depan, partai itu benar-benar organ publik, maka publik harus ikut membiayai lebih banyak,” kata Zulfikar.
Selain itu, dalam rangka mereformasi pemilu, Zulfikar juga berpendapat sanksi untuk politik uang bukan lagi pidana, melainkan diskualifikasi.
Apabila seorang peserta pemilu terbukti melakukan politik uang, maka calon tersebut sebaiknya langsung didiskualifikasi.
“Jangan lagi ini menjadi ranah pidana, tetapi ranah etik. Siapa pun dia, satu saja (terbukti), langsung didiskualifikasi calon itu,” ucap dia.
BACA JUGA:8 Gugatan Masuk ke MK dari Sumatera Selatan : Daerah Mana Saja ? Berikut Daftar Lengkapnya
BACA JUGA:KPU Bengkulu : Proses Politik Pemilihan Gubernur 2024 Telah Rampung
Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo menyoroti soal politik berbiaya tinggi di Indonesia yang rentan memicu korupsi dalam kaitannya dengan pemilihan langsung di Tanah Air saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon pimpinan (capim) KPK yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/11).
Sebab, kata dia, peserta pemilu membutuhkan biaya yang tinggi untuk dapat ikut berkontestasi. Maka, ketika terpilih, terkadang menghalalkan segala cara untuk mengembalikan kembali biaya yang telah mereka keluarkan.
Berdasarkan data KPK pada tahun 2004 hingga 2023, sebanyak 161 bupati/wali kota, 24 gubernur, serta 344 anggota DPR/DPRD terjerat kasus korupsi.