Konsep in rem mengatur mengenai pelindungan bagi pihak ketiga yang beriktikad baik dan memiliki keterkaitan dengan aset yang diajukan permohonan perampasan aset.
Tak hanya itu, RUU Perampasan Aset juga mengatur tentang perampasan aset di luar negeri.
Dengan demikian, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tessa Mahardhika menilai RUU Perampasan Aset akan membantu aparat penegak hukum (APH) dalam menyita aset hasil korupsi di luar negeri apabila disahkan.
Selama ini, pelaku korupsi cenderung menyembunyikan aset mereka di luar negeri agar tidak bisa dijangkau oleh otoritas hukum karena terbentur dengan prinsip timbal balik (reciprocal), perbedaan hukum, hingga berbagai perjanjian internasional antarnegara.
Kendati demikian dalam RUU Perampasan Aset, terdapat pula aturan yang kontroversial, yakni aset tersangka bisa dirampas apabila nilainya tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaan yang dimiliki sehingga apabila tersangka tidak bisa membuktikan aset yang dimiliki berasal dari penghasilan yang halal maka bisa langsung dirampas untuk negara.
RUU Perampasan Aset pun memungkinkan perampasan aset bagi tersangka yang telah meninggal dunia, melarikan diri, mengalami sakit parah, hingga menghilangkan jejak.
Dengan begitu, RUU tersebut bisa menciptakan kepastian hukum yang kuat dan tidak memberikan celah bagi tersangka untuk menghindari tanggung jawab hukumnya.
Maka dari itu lewat berbagai aturan baru yang tertuang dalam RUU Perampasan Aset, pengembalian kerugian keuangan negara akibat perbuatan koruptor bisa lebih maksimal dan koruptor pun bisa makin dimiskinkan.
Memulihkan Kas Negara
Beleid RUU Perampasan Aset akan memungkinkan negara untuk merampas aset hasil tindak pidana tanpa perlu memidanakan pelaku karena saat ditetapkan sebagai tersangka, aset koruptor sudah bisa dirampas oleh negara.
Hal tersebut tentunya menjadi angin segar bagi kas negara sebagai salah satu modal pembangunan nasional. Pasalnya, kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sangat besar selama ini.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi selama 10 tahun terakhir (2014-2023) mencapai Rp290 triliun.
Angka itu didapat dari berbagai kasus korupsi yang sudah mendapat vonis.
Sementara itu, pada tahun 2023, kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp56 triliun, melonjak Rp13,3 triliun dari kerugian Rp42,7 triliun pada 2022.
Tak hanya soal kerugian akibat tindak pidana korupsi, RUU Perampasan Aset juga mengatur kejahatan lain yang berdimensi ekonomi, seperti penghindaran pajak, perdagangan orang, penipuan, penggelapan, dan perusakan lingkungan.
Berdasarkan data Human Rights Watch, kerugian yang diderita Indonesia karena pajak dan royalti yang tidak terpungut akibat penebangan liar pada tahun 2006, mencapai 2 miliar dolar Amerika Serikat (AS).