Ada delapan dusun atau desa yang terbentuk dari Lubuk Pandan hingga Muara Megang. Daerah ini kemudian dikenal sebagai Lembak Lapan, yang berarti delapan desa.
Wilayah ini menjadi bagian dari Marga Sikap Dalam Musi, sebuah struktur pemerintahan tradisional yang ada di daerah tersebut.
Dengan populasi yang semakin bertambah dan wilayah yang semakin luas, para penduduk terus menjaga tradisi dan struktur sosial mereka.
Setiap dusun memiliki pemimpin yang dipilih melalui musyawarah atau melalui struktur yang ditetapkan oleh Belanda.
Keberadaan Marga Sikap Dalam Musi ini menjadi identitas budaya yang kuat bagi masyarakat di sepanjang Sungai Serut.
Pada tahun 1937, masuklah pengaruh kolonial Belanda ke Muara Lakitan.
Kolonial Belanda berupaya memanfaatkan struktur tradisional yang ada untuk memperkuat kendali mereka atas wilayah tersebut.
Mereka memperkenalkan sistem pemerintahan baru, yang mana setiap daerah dipimpin oleh seorang Pesirah atau kepala marga.
Di sinilah muncul tokoh Pangeran Abuleman.
Ia merupakan penduduk dari Desa Pelaweh yang merantau hingga ke Desa Mandi Aur, tempat ia bertemu dengan Pangeran Mukti.
Atas saran Pangeran Mukti, Pangeran Abuleman pun melanjutkan perjalanan ke Desa Muara Lakitan.
Kehadirannya di Muara Lakitan menjadi penting, karena desa ini belum memiliki seorang Pesirah sebagai pemimpin resmi.
Ketika Belanda mengadakan pemilihan untuk memilih Pesirah di Muara Lakitan, Pangeran Abuleman turut serta dalam pemilihan tersebut.
Pemilihan dilakukan oleh Belanda dengan menggunakan sistem Compok, sebuah sistem pemungutan suara yang dipengaruhi oleh adat dan juga kontrol kolonial.
Pangeran Abuleman akhirnya terpilih sebagai Pesirah pertama yang memimpin Marga Sikap Dalam Musi.
Beliau memimpin selama sekitar 15 tahun, memberikan bimbingan dan mengatur masyarakat dengan bijaksana.