Sebagian penenun memutuskan untuk membeli alat tenun mesin karena sulitnya mencari tenaga penenun kain setagen.
Kondisi itu juga dialami oleh penenun Mbah Marimin.
Kelima anaknya enggan meneruskan usaha keluarga.
Bagi Mbah Marimin, menenun setagen kini ia anggap sebagai aktivitas olahraga sekaligus caranya menikmati masa tua.
Kelima anaknya sudah hidup mandiri termasuk anak terakhir yang mampu ia sekolahkan hingga menjadi sarjana dari usaha tenun setagen.
Jika tidak ada inovasi dan regenerasi, kerajinan tenun setagen di desa itu bisa punah ditelan oleh perkembangan zaman.
Suasana kampung yang dulu ramai dengan suara kayu beradu pada alat tenun tradisional akan menjadi hening.
Yang tersisa mungkin hanya papan petunjuk di ujung jalan desa yang masih berdiri kokoh.
Tanda bahwa desa tersebut dulunya merupakan kawasan sentra penghasil tenun setagen.