KORANPALPOS.COM - Seorang wanita paruh baya duduk mengoperasikan alat tenun sederhana yang dibuat dari rakitan kayu.
Kedua kakinya bergantian menginjak papan kayu sembari kedua tangannya lincah bergerak menarik benang dan menjepit papan saat mengoperasikan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Sesekali ia menghentikan pekerjaannya untuk sekedar mengurai benang yang kusut dengan jari-jarinya yang mulai mengkerut.
Di belakangnya, seorang pria paruh baya memutar roda pemintal.
BACA JUGA:Amplifikasi Hilirisasi Sektor Mineral di Bumi Afrika Melalui IAF
BACA JUGA:Presiden Jokowi Sebut Bendungan Leuwikeris Menelan Biaya Paling Besa
Helai demi helai benang dengan alat pintal tradisional.
Keduanya adalah Jinal Jito Hartono dan istrinya Suharti, pasangan penenun tradisional kain setagen.
Kain tenun setagen adalah kain panjang yang dililitkan ke pinggang sebagai pengunci agar kain atau jarik tidak jatuh.
Kain setagen merupakan pelengkap pakaian tradisional yang umumnya dipakai wanita saat berbusana kebaya.
Tidak hanya itu, perempuan Jawa meyakini penggunaan setagen bermanfaat untuk merampingkan perut dan membentuk postur tubuh yang mirip dengan korset di era modern.
Dalam filosofi Jawa, setagen yang bentuknya memanjang disimbolkan seperti usus yang panjang yang berarti kesabaran.
Sama halnya dengan pembuatan setagen itu sendiri yang memerlukan ketekunan dan kesabaran terutama dalam proses pembuatan yang mengandalkan alat tradisional dan tenaga manusia sebagai penggeraknya.
Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo merupakan desa sentra penghasil kerajinan setagen yang sudah dikenal sejak dulu.
Produksi tenun di desa tersebut pernah memasuki masa kejayaannya pada tahun 1966-1980.