Apresiasi Puskas Luncurkan Buku Kajian Gajah Palembang

Senin 26 Aug 2024 - 21:11 WIB
Reporter : Erika
Editor : Isro Antoni

PALEMBANG, KORANPALPOS.COM - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mengapresiasi Pusat Kajian Sejarah (Puskas) provinsi setempat meluncurkan buku hasil kajian tentang Gajah Palembang yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.

"Dengan buku itu, diharapkan dapat menjelaskan kepada masyarakat bahwa di Kota Palembang pernah ada habitat gajah yang seiring perkembangan zaman dan alih fungsi lahan untuk perkotaan, habitat gajah hilang dan bergeser ke pinggiran seperti ke wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)," kata Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Kemasyarakatan dan SDM Kurniawan Abadi, pada acara peluncuran buku Gajah Palembang, di Palembang, Ahad.

Menurut dia, tim penulis buku Vebri Al-Lintani, Ali Goik, Kemas Panji, Dudy Oskandar, Dayat, dan Dedi Irwanto diharapkan terus berkarya dengan menggali sejarah mengenai Kota Palembang dan daerah Sumsel lainnya.

"Jangan berhenti dan cukup puas di kajian dan pembuatan buku tersebut saja, banyak hal lain yang bisa dikaji dan dijadikan buku sebagai literasi sejarah bagi generasi muda provinsi dengan 17 kabupaten dan kota ini," kata Kurniawan.

BACA JUGA:Bantu Peralatan hingga Bisa Sekolah Lagi

BACA JUGA:Kembangkan Ilmu Teknologi di Sumsel

Sementara salah seorang anggota Puskas Sumsel yang juga penulis buku Gajah Palembang, Ali Goik, pada acara peluncuran buku itu menjelaskan bahwa hingga kini banyak orang tidak mengetahui Kota Palembang merupakan daerah gajah.

Ketidaktahuan orang bahwa Palembang sebagai Ibu kota Sumatera Selatan itu adalah daerah gajah membuat dia dan kawan-kawan di Puskas melakukan kajian tentang satwa langka itu dan mendokumenkannya dalam buku tersebut.

Untuk membuat buku itu, dia bersama tim penulis turun ke lima desa dalam Kecamatan Air Sugihan, OKI yang sering mengalami konflik dengan gajah yakni Desa Bukit Batu, Simpang Heran, Banyu Biru, Srijaya Baru, dan Desa Jadi Mulya.

Khusus di Desa Bukit Batu, tim penulis melakukan berbagai wawancara dengan penduduk lokal untuk mengidentifikasi keberadaan gajah terutama akar konflik antara manusia dan gajah di desa tersebut.

“Kami merasakan adanya konflik ini, yang utama habitat gajah diusik oleh manusia. Gajah memiliki jelajah edar yang bersifat siklus, berdasarkan pendapat masyarakat tersebut wilayah edar gajah tidak sengaja diganggu sehingga gajah masuk dan terkadang mengamuk di permukiman," ujarnya.

BACA JUGA:Polda Sumsel Raih Juara II Nasional : Gebrakan Kesetaraan Gender !

BACA JUGA:Road to MILO ACTIV Indonesia Race 2024

Namun, yang menarik jika dulu masyarakat menghalau gajah cukup dengan kata-kata "simbah ojo mlebuh niki rumah cucumu" atau mbak tinggali makan untuk cucumu, maka gajah akan segera pergi.

Sekarang ini untuk menghalau gajah, harus dengan berbagai cara dan berganti strategi seperti bulan ini harus pakai tetabuan kaleng kemudian bulan berikutnya perlu menggunakan suara petasan/percon demikian seterusnya, ujar Ali Goik.

Kategori :