Jejak Sejarah dan Asal Usul Suku Semende di Sumatera Selatan : Siapa Syech Nurqodim al-Baharudin ?
Asal usul dan jejak sejarah suku Semende di Provinsi Sumatera Selatan yang kaya akan tradisi dan budaya-Foto : Dokumen Palpos-
Arsip tersebut diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur, seorang ahli purbakala dari Jakarta.
Syech Nurqodim al-Baharudin merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati melalui putri sulungnya, Panembahan Ratu Cirebon, yang menikah dengan Ratu Agung Empu Eyang Dade Abang.
Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan.
Syech Nurqodim dididik dengan aqidah Islam dan akhlaqul karimah sejak kecil oleh orang tuanya di Istana Plang Kedidai yang terletak di tepi Tanjung Lematang.
Menurut buku "Jagad Basemah Libagh Semende Panjang" karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, pada abad ke-14 hingga 17 Masehi, kaum imperialis dan kapitalis Eropa seperti Portugis, Inggris, dan Belanda melakukan perompakan di lautan dan perampokan di daratan, yang dikenal dengan istilah "mengayau" dalam bahasa Melayu.
Mereka menggunakan taktik devide et impera untuk memecah belah penduduk di rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka.
Dalam menanggapi situasi ini, para waliullah di daerah tersebut, dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin, menggelar musyawarah pada tahun 1650 M/1072 H di Perdipe (sekarang wilayah Kota Pagar Alam, dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan).
Tujuan dari musyawarah ini adalah untuk menyusun kekuatan dalam persiapan perang bulan sabit merah guna menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara.
Selain berjuang melawan penjajah, Syech Nurqodim al-Baharudin juga berperan penting dalam transformasi sosial dan budaya di wilayah tersebut.
Beliau menciptakan adat Semende, sebuah adat yang mentransformasi perilaku rumah tangga Nabi Muhammad SAW, serta mencetuskan falsafah "jagad besemah libagh semende panjang", yang berarti "negara demokrasi" pertama di Nusantara (1479-1850). Sayangnya, negara ini runtuh akibat peperangan selama 17 tahun (1833-1850) melawan kolonial Belanda.
Sebelum menetap di Tanah Besemah, Syech Nurqodim al-Baharudin tinggal di Pulau Jawa dan hidup sezaman dengan Wali Songo.
Beliau sangat berpengaruh di bagian tengah dan selatan Pulau Jawa. Ketika Wali Songo, sebelum berdirinya Kerajaan Bintoro Demak, memiliki pengaruh di Pantai Utara Pulau Jawa, Syech Nurqodim al-Baharudin turut serta dalam musyawarah di Masjid Demak bersama 16 wali lainnya, termasuk beberapa wali dari Pulau Madura.
Dalam musyawarah tersebut, Sunan Giri mengusulkan pembentukan negara Kerajaan dengan mengangkat Raden Fatah sebagai raja/sulthan, dengan alasan bahwa negara baru tersebut tidak akan diserang oleh Majapahit karena Raden Fatah adalah anak dari raja Majapahit.
Dari 16 wali, sembilan orang mendukung pendapat ini, sedangkan tujuh lainnya, termasuk Syech Nurqodim al-Baharudin, memiliki strategi dakwah yang berbeda.
Syech Nurqodim al-Baharudin menginginkan suatu daulah seperti Madinah al-Munawarah pada masa Rasulullah SAW.