Jejak Sejarah dan Asal Usul Suku Semende di Sumatera Selatan : Siapa Syech Nurqodim al-Baharudin ?

Asal usul dan jejak sejarah suku Semende di Provinsi Sumatera Selatan yang kaya akan tradisi dan budaya-Foto : Dokumen Palpos-

Namun, demi menjaga persatuan umat Islam yang jumlahnya belum banyak kala itu, beliau memutuskan untuk hijrah ke Pulau Sumatera.

Dari tanah Banten, beliau menyeberang ke Tanjung Tua, ujung paling selatan Pulau Sumatera, kemudian menyusuri pesisir timur hingga tiba di Tanah Besemah dan menetap di Perdipe.

Sepanjang perjalanan, sebagai seorang mubaligh, beliau mendatangi tempat-tempat di mana masyarakat masih belum mengenal agama Tauhid dan akhlaqul karimah.

Dengan menggunakan metode yang sangat sederhana dan mempergunakan kultur budaya masyarakat setempat, beliau berhasil menyebarkan ajaran Islam sehingga dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.

Syech Nurqodim al-Baharudin dikenal sebagai penyebar agama Islam yang sangat kharismatik di kalangan suku-suku di pedalaman Sumatera Bagian Selatan.

Nama beliau menjadi legenda dari generasi ke generasi, terutama karena sikapnya yang menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Allah.

Di Tanah Besemah, Puyang Awak (Syech Nurqodim) menyaksikan pola hidup masyarakat yang sangat jauh dari kehidupan Islami.

Praktek-praktek perbudakan, perampokan, dan penculikan masih sering terjadi. Misalnya, penculikan terhadap wanita dan anak-anak dari suku-suku lain di sekitar Basemah, yang dalam bahasa setempat disebut 'nampu', dilakukan untuk dijadikan budak ('pacal').

Bahkan, beberapa keluarga besar memiliki ratusan ekor kerbau dan sapi serta puluhan orang pacal.

Ketika mengadakan pesta besar-besaran, mereka menyembelih puluhan ekor sapi dan kerbau serta mengumumkan akan menyembelih seorang pacal, sebuah bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum jahiliyah Suku Quraisy di Mekkah pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Puyang Awak, yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar dan tanpa hukum tersebut, berpendapat bahwa Tanah Besemah adalah tempat yang tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an.

Metode yang dipergunakannya sangat sederhana dan tidak menggunakan bahasa Arab, melainkan dirumuskan dalam bahasa Pasemah yang dikenal dengan falsafah 'GANTI nga TUNGGUAN' (Akhlakul Karimah).

Menurut buku "Kisah Walisongo" karya Baidhowi Syamsuri, dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau Syaikh Dzathul Kahfi, seorang ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon dan mendirikan Perguruan Islam.

Setelah cukup lama menuntut ilmu, keduanya diperintahkan untuk membuka hutan di selatan Gunung Jati, yang kemudian menjadi pedukuhan dan dinamakan "Tegal Alang-Alang".

Pangeran Walang Sungsang diberi gelar "Pangeran Cakra Buana" dan diangkat sebagai pimpinannya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan