Penyeragaman Masa Antre Haji, Jumlah Jemaah Haji Prabumulih Berkurang

Kakan Kemenag Prabumulih, M Makki-Foto : Prabu Agustian-

PRABUMULIH, KORANPALPOS.COM - Kebijakan baru pemerintah pusat melalui Kementerian Haji dan Umroh mengenai penyeragaman masa antre keberangkatan haji 26 tahun kini mulai terasa dampaknya di seluruh Indonesia.

Kebijakan yang menyamakan daftar tunggu haji menjadi satu standar nasional ini membawa konsekuensi besar terhadap pembagian kuota haji antardaerah.

Dimana provinsi dengan masa antre pendek justru mengalami pengurangan kuota, sementara provinsi dengan antrean panjang mendapat tambahan porsi keberangkatan.

BACA JUGA:Tak Hanya Menindak, Polisi Bagikan Brosur Edukatif

BACA JUGA:11 Propemperda Muara Enim 2026 Disahkan

Fenomena ini diungkapkan langsung oleh Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Prabumulih H. M. Makki, ketika dibincangi di ruang kerjanya, Rabu, 19 November 2025.

Menurutnya, kebijakan penyeragaman daftar tunggu yang ditetapkan pemerintah pusat dan menargetkan masa antre sekitar 26 tahun berdampak langsung pada kuota haji Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mulai tahun 2026 mendatang.

Selama ini Sumatera Selatan dikenal sebagai salah satu provinsi dengan masa antre keberangkatan haji yang relatif pendek.

BACA JUGA:Atasi Pengangguran, Dinasker Gelar Pelatda Praktek Kerja ke Jepang

BACA JUGA:Dorong Profesionalisme Pers, Kominfo dan PWI Prabumulih Gelar Uji Kompetensi Wartawan

Jika banyak provinsi lain memiliki antrean 30 hingga 40 tahun, masa tunggu di Sumsel berada pada kategori lebih cepat sehingga kuota jemaah yang diberangkatkan setiap tahun cenderung lebih stabil.

Namun dengan sistem baru yang menyeragamkan masa antre nasional, Sumsel termasuk daerah yang mengalami penyesuaian kuota.

Makki menyebut, setiap tahun Sumatera Selatan biasa mendapatkan jatah kuota sekitar 6.800 hingga 6.900 jemaah.

BACA JUGA:Tawuran Pelajar di Lubuklinggau, MAN 2 vs SMK 3: Ini Pemicunya!

BACA JUGA:RSUD Rabain Segera Bangun Ruang Inap Jiwa

Akan tetapi pada tahun 2026 mendatang, kuota tersebut diperkirakan hanya sekitar 5.800 jemaah, atau berkurang sekitar 1.000 orang.

“Pengurangan ini diperkirakan akan berlanjut setiap tahun apabila sistem antre 26 tahun terus diberlakukan,” tegas Makki.

Artinya, selama kebijakan ini diterapkan, provinsi-provinsi dengan masa antre pendek akan terus mengalami penyelarasan kuota sampai daftar tunggu nasional berada pada level yang sama.

BACA JUGA:Raih Nilai IKPA Sempurna, Rutan Baturaja Menjadi Satker Terbaik III Ditjenpas Sumsel

BACA JUGA:Pemkab OKU Komitmen Dukung Pencegahan Korupsi

Berbanding terbalik dengan Sumsel, provinsi lain yang selama ini memiliki masa tunggu panjang justru merasakan dampak positif dari kebijakan ini. Makki mencontohkan Sulawesi Selatan dan beberapa provinsi di Pulau Jawa yang antrean hajinya mencapai lebih dari 30 tahun. Dengan adanya penyeragaman masa antre menjadi 26 tahun, provinsi-provinsi tersebut mendapatkan tambahan kuota dari pemerintah pusat.

Kebijakan ini dirancang untuk mengurangi ketimpangan lama antre antarprovinsi yang selama bertahun-tahun menjadi perhatian pemerintah. Selain menciptakan pemerataan, sistem ini diharapkan membuat proses penentuan kuota lebih proporsional.

Meskipun demikian, menurut Makki, implementasi kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika lapangan. Setiap daerah memiliki karakteristik, jumlah pendaftar, pola demografi, serta pertumbuhan jemaah yang berbeda-beda.

Untuk mengantisipasi potensi gesekan akibat pengurangan kuota, Kemenag Sumsel memutuskan langkah strategis dengan mengeluarkan porsi hanya 80 persen dari total data jemaah. Cara ini dilakukan untuk menyesuaikan data pendaftar dengan ketersediaan kuota yang terus mengalami penurunan.

Langkah ini dinilai penting untuk mencegah polemik di lapangan, terutama terkait daftar jemaah yang berhak mengikuti tahapan persiapan seperti manasik haji, pemeriksaan kesehatan, dan pengumpulan berkas. Dengan pengurangan ini, jemaah yang berada di luar porsi 80 persen tidak dapat diundang mengikuti manasik haji tahun berjalan karena tidak masuk dalam kuota keberangkatan.

Dampak kebijakan ini juga sangat terasa di Kota Prabumulih. Menurut Makki, tahun lalu jumlah jemaah haji yang diberangkatkan dari Kota Prabumulih mencapai 192 orang. Namun untuk pemberangkatan tahun 2026, jumlah tersebut mengalami penurunan signifikan menjadi sekitar 156 orang. “Padahal tanpa kebijakan ini, jumlah jemaah diperkirakan bisa mencapai lebih dari 200 orang,” jelasnya.

Pengurangan ini membuat sebagian jemaah yang seharusnya masuk kuota terpaksa tertunda keberangkatannya. Jemaah yang tertunda juga tidak dapat mengikuti manasik haji intensif karena berada di luar daftar porsi 80 persen.

Meski begitu, menurut Makki, para jemaah tetap memahami situasi tersebut sebagai konsekuensi dari regulasi yang diterapkan secara nasional. Edukasi dan sosialisasi rutin dari pihak Kemenag juga membantu meredam potensi ketidakpuasan jemaah.

Hingga saat ini proses verifikasi jemaah haji Prabumulih telah mencapai 80 persen. Jumlah jemaah pada porsi 80 persen yang sudah dipastikan masuk kuota keberangkatan berjumlah 156 orang.

Proses administrasi juga sudah berjalan sesuai jadwal. Sebagian besar jemaah telah menyerahkan paspor, menyerahkan foto terbaru, menjalani proses Visa Bio, melakukan pemeriksaan administrasi awal.

Tahap-tahap ini menjadi bagian penting dari persiapan teknis keberangkatan haji yang harus diselesaikan sebelum jadwal pengukuran pakaian ihram, bimbingan manasik, hingga pemantapan kesehatan.

Makki menegaskan bahwa meskipun terjadi penyesuaian kuota, pemerintah tetap berkomitmen memberikan layanan terbaik kepada seluruh calon jemaah haji. Kemenag menyiapkan pelayanan sepanjang tahun melalui program manasik haji sepanjang tahun yang bertujuan meningkatkan pemahaman jemaah sebelum berangkat ke Tanah Suci.

“Ini adalah kebijakan pemerintah, dan kita harus mengakui serta menyesuaikannya. Pada prinsipnya seluruh jemaah yang masuk kuota akan tetap kita layani dengan maksimal,” tutup Makki. 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan