Peluang Wisata Ramah Muslim, Sertifikasi Halal hingga Pelestarian Budaya Jadi Fokus Pengembangan Pariwisata
Kemenkum Maluku Utara (Malut) mengemukakan tradisi kabata dutu di Kota Tidore Kepulauan masuk ekspresi budaya tradisional yang dilindungi negara-Foto: ANTARA-
BACA JUGA:Prabowo Tunjuk Djamari Chaniago Jadi Menko Polkam, Bukti Tak Simpan Dendam
“Menjadi halal-friendly bukan sekadar soal label melainkan pengalaman yang dirasakan wisatawan. Di Indonesia, kebijakan sertifikasi halal dan infrastruktur ramah muslim sudah menjadi standar,” ujar Hariyanto.
Hariyanto juga menekankan pentingnya kolaborasi berbagai sektor seperti kementerian atau lembaga yang dilakukan Kementerian Pariwisata dalam mendorong pengembangan pariwisata halal.
“Kami juga menyadari bahwa ekspektasi wisatawan terus berkembang, sehingga kami harus terus berinovasi melalui layanan yang lebih baik, kemitraan yang lebih kuat, serta pengembangan destinasi wisata ramah muslim,” tutur dia.
Sementara itu, survei terbaru dari Vero dan GMO-Z.com Research mengungkap bahwa sertifikasi halal terutama dari sisi aspek food and beverage menjadi salah satu daya tarik mendukung pariwisata ramah muslim di Indonesia ataupun secara global.
Secara global, sektor pariwisata diperkirakan akan tumbuh dari USD 256,5 miliar pada 2023 menjadi USD 410,9 miliar pada 2032.
“Dari sisi aspek food and beverage, tentunya sertifikasi juga penting menjadi salah satu daya tarik juga, terutama bagi wisatawan-wisatawan yang memang mereka sangat memegang teguh keyakinannya,” kata Executive Director Vero Indonesia, Diah Andrini Dewi, dalam diskusi pariwisata halal, di BSD City, Tangerang, Banten Kamis (25/09/2025).
Studi terbaru dari Vero dan GMO-Z.com Research juga mengungkap bahwa 89 persen Muslim Indonesia menempatkan ketersediaan makanan halal sebagai prioritas utama saat bepergian.
Temuan ini berpengaruh langsung terhadap strategi destinasi global, mulai dari Tokyo hingga Dubai.
Survei yang melibatkan 509 responden Muslim Indonesia berusia 18–45 tahun dengan beragam latar belakang menunjukkan bahwa ketersediaan makanan halal tidak hanya memengaruhi pilihan destinasi, tetapi juga membentuk persepsi tentang seberapa ramah sebuah tempat bagi wisatawan muslim.
“Ketika negara dengan mayoritas non-muslim turut menyediakannya, pengalaman itu terasa berbeda. Kehadiran fasilitas halal dipandang sebagai bentuk kepedulian budaya dan rasa menghargai, yang membuat wisatawan muslim merasa lebih diterima,” tutur dia.
Diah mengatakan faktor tersebut juga semakin penting seiring meningkatnya minat terhadap destinasi non-muslim seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, yang kini bersaing ketat dengan negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan Arab Saudi sebagai pilihan utama perjalanan.
Dalam hal ini, para pelaku industri turut untuk memenuhi demand yang ada untuk berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi dan juga perkembangan industri itu sendiri.
Seperti dari sisi infrastruktur industri halal bisa menyediakan fasilitas-fasilitas yang ramah muslim, menyediakan tempat untuk beribadah baik di transportasi ataupun daerah yang seringkali dikunjungi oleh wisatawan.
Pariwisata halal, lanjut Diah, dinilai bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan wisatawan muslim, tetapi juga menawarkan nilai universal yang bermanfaat bagi semua wisatawan, seperti halnya nilai kebersihan, kenyamanan, transparansi kandungan dari makan yang bisa disampaikan.