RUU KUHAP Mendesak Disahkan, Wamenkumham Ingatkan Semua Tahanan Bisa Dibebaskan

Komisi III DPR RI melakukan kunjungan kerja di Provinsi Babel untuk menyerap masukan dari APH, guna mempercepat pembahasan RUU KUHAP-Foto: ANTARA-
Selain itu, semangat restorative justice yang diusung bertujuan bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi turut memulihkan keseimbangan serta memperhatikan kepentingan korban dan masyarakat.
Dia menyampaikan penegakan hukum modern menuntut institusi yang tangguh, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
"Kejaksaan dituntut hadir sebagai institusi yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat luas," ungkapnya.
Kajati Kepri menambahkan bahwa urgensi pembaruan RUU KUHAP penting guna mewujudkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Salah satu poin utama dalam RUU KUHAP 2025 adalah penguatan keadilan restoratif atau restorative justice yang mengedepankan pemulihan keadaan, melibatkan korban dan pelaku, serta memberikan ruang penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan tetap menjaga prinsip keadilan.
Selain itu, lanjutnya, RUU itu juga memperkuat perlindungan terhadap saksi, korban, penyandang disabilitas, perempuan, dan orang lanjut usia.
“Kejaksaan dan lembaga penegak hukum lainnya harus mampu bertransformasi menjadi institusi penegak hukum modern yang gesit, adaptif, dan bermanfaat, sejalan dengan visi menuju Indonesia Emas 2045,” demikian Kajati Kepri.
Di sisi lain, anggota Komisi XIII DPR RI Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban diarahkan pada pemulihan hak-hak korban, baik fisik, psikis, maupun sosial.
"Revisi undang-undang ini harus menyasar pemulihan hak-hak korban. Restitusi menjadi hal fundamental yang harus dipertegas dalam sinkronisasi KUHAP, UU Tipikor, UU Terorisme, TPPO hingga tindak pidana lainnya," ujarnya dalam rapat dengar pendapat bersama Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Bareskrim Polri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu dikutip dari keterangan tertulisnya.
Ia menilai ancaman terhadap saksi dan korban tidak hanya datang dari luar, tetapi juga bisa muncul dari dalam institusi penegak hukum, seperti penyidik, jaksa, maupun hakim.
Karena itu, ia mendorong kewajiban pendampingan saksi oleh pengacara di setiap tahap pemeriksaan, serta pemasangan CCTV dalam proses penyidikan untuk mencegah manipulasi keterangan.
Umbu juga menekankan perlunya perluasan mekanisme penyitaan aset pelaku untuk mengganti kerugian korban, tidak hanya terbatas pada hasil kejahatan materiil.
Menurutnya, tindak pidana yang menimbulkan kerugian psikis dan sosial, seperti kekerasan dalam rumah tangga, juga harus diantisipasi dengan langkah hukum sejak awal.
Sebelumnya, Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya juga telah menegaskan komitmen DPR untuk memperkuat perlindungan saksi dan korban melalui perubahan kedua atas UU Nomor 13 Tahun 2006.
Ia menyebut masukan dari berbagai pihak, termasuk LPSK, sangat penting agar substansi perubahan benar-benar menyentuh hal-hal mendesak dan strategis.