Belajar dari Kasus Wali Kota Prabumulih dan Bupati Pati
Dua pejabat, dua kasus berbeda, tapi sama-sama menegaskan pentingnya etika dan kehati-hatian dalam kepemimpinan-Foto: ANTARA-
BACA JUGA: Tol Palembang–Betung Segera Rampung, KSP dan Pemprov Sumsel Sepakat Percepat Pembangunan
Setelah pemeriksaan itu, Itjen Kemendagri memberikan teguran tertulis kepada Wali Kota Prabumulih atas tindakannya itu.
Sementara itu, untuk kasus Bupati Pati, aksi protes warga yang beberapa waktu lalu sempat rusuh dan kemudian sudah mereda, kini muncul lagi aksi serupa, dengan tuntutan bupati mundur dari jabatannya.
Menyikapi tuntutan itu, partai politik tempat Sadewo bernaung akan mengusulkan dia dipecat dari keanggotaan partai.
Sikap partai politik tempatnya dia bernaung ini akan semakin menegaskan bahwa pijakan kekuasaannya semakin terbatas, bahkan posisinya berada di ujung tanduk.
Kasus Wali Kota Prabumulih dan Bupati Pati ini betul-betul memberi pelajaran besar, sekaligus pengingat bagi para pejabat, khususnya di pemerintahan daerah, agar tidak bertindak semena-mena, terutama jika hal itu menyangkut nasib warga.
Semua kebijakan, perilaku, dan pernyataan pejabat, baik di daerah maupun di pusat, kini menjadi incaran kamera rakyat, bahkan bisa viral di media sosial.
Kita semua tahu, di era serba digital ini, dampak pemberitaan dari media sosial bisa melebihi dampak pemberitaan yang muncul di media arus utama.
Rakyat, lewat saluran media sosial, kini telah menjelma seperti ribuan, bahkan jutaan kamera pengintai yang standby setiap saat dan ada dimana-mana.
Sedikit saja pemerintah atau pejabat melakukan kesalahan, baik perbuatan, perkataan, maupun putusan atau kebijakannya, seketika informasinya menyebar, melampaui batas-batas wilayah, bahkan batas negara.
Sejatinya, menjadi pejabat di era digital saat ini, mirip dengan perjalanan laku seorang penganut tasawuf, yang "dituntut" terus menerus melakukan tazkiyatun nafs atau membersihkan (menyucikan) jiwa.
Dalam perjalanan tasawuf, untuk mampu membersihkan jiwa setiap saat, seseorang harus mampu melampaui keterjebakan jiwanya dalam ego atau hawa nafsu.
Dalam ikhtiar melampaui ego itu, seorang pejalan (spiritual) atau biasa disebut salik harus selalu mawas terhadap gerak gerik jiwanya agar tidak terjebak dalam alunan ego.
Demikian juga dengan kekuasaan. Seorang pejabat di era digital ini tidak bisa lagi berpegang pada pakem lama bahwa jabatan itu adalah kekuasaan.
Justru sebaliknya, pejabat di era sekarang harus menyelami betul filosofi bahwa jabatan itu adalah mengenai pelayanan.