Belajar dari Kasus Wali Kota Prabumulih dan Bupati Pati

Dua pejabat, dua kasus berbeda, tapi sama-sama menegaskan pentingnya etika dan kehati-hatian dalam kepemimpinan-Foto: ANTARA-

KORANPALPOS.COM – Masalah antara Wali Kota Prabumulih Arlan dengan Kepala SMP Negeri 1 Prabumulih Roni Ardiansyah dan antara Bupati Pati Sadewo dengan warganya, memberikan pesan bahwa seorang pejabat harus berhati-hati dalam berkata, bertindak, dan menetapkan keputusan.

Wali Kota Prabumulih di Sumatra Selatan dan Bupati Pati di Jawa Tengah menghadapi masalah terkait dengan ekspresi dari euforia kekuasaan.

Keduanya terjebak dalam momentum memanfaatkan relasi kuasa politik, sehingga membuat salah satu warga atau mayoritas warga merasa mendapatkan perlakuan zalim dari sang pemimpin.

BACA JUGA:DPR Desak Akreditasi SPPG, Cegah Keracunan Program Makan Bergizi Gratis

BACA JUGA:Prabowo Tunjuk Djamari Chaniago Jadi Menko Polkam, Bukti Tak Simpan Dendam

Kasus yang menimpa Wali Kota Prabumulih terkait dengan kebijakannya mencopot kepala sekolah menengah pertama (SMP) yang diduga dilatarbelakangi tindakan si kepala sekolah menegur anak si pejabat yang membawa kendaraan ke lingkungan sekolah.

Sementara itu, kasus yang menimpa Bupati Pati terkait dengan kebijakannya menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga 250 persen.

Meskipun objek masalah yang dihadapi berbeda, ada kesamaan perilaku dari kedua kepala daerah itu, yakni sama-sama menggunakan relasi kuasa, tanpa memerhatikan perasaan dari seseorang atau sejumlah orang dan seluruh warga yang menjadi korban.

BACA JUGA:Kontroversi Iklan Pemerintah di Bioskop: Komunikasi Publik atau Propaganda?

BACA JUGA:Kapolri Listyo Sigit Prabowo Tetap Bertugas, Bantahan Resmi Soal Isu Pergantian

Tindakan Wali Kota Prabumulih, sesuai hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, tidak sesuai dengan peraturan terkait pencopotan seorang pejabat, tanpa alasan yang tepat, sedangkan Bupati Pati mengeluarkan kebijakan yang dirasa memberatkan warga.

Kesalahan kebijakan yang ditetapkan oleh Wali Kota Prabumulih dinilai melanggar hukum positif, yakni Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, sedangkan kasus Bupati Pati lebih kepada aspek etika, yakni tidak memerhatikan suara rakyat, lebih-lebih terkait dengan pernyataannya yang dinilai arogan, ketika rakyat berunjuk rasa memprotes kebijakan sang bupati.

Dalam kasus Wali Kota Prabumulih, Itjen Kemendagri bergerak cepat dengan memanggil para pihak yang bermasalah, yakni wali kota dan sang kepala sekolah.

BACA JUGA:Komnas HAM dan Lima Lembaga Nasional Bentuk Tim Gabungan Selidiki Unjuk Rasa dan Kerusuhan

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan