KPK Kian Tak Berdaya

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.-Foto : Disway-
Sejumlah warga yang ditemui, menyayangkan pasal-pasal kontroversial dalam UU tersebut, khususnya Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G, yang menyatakan bahwa direksi, komisaris, dan pegawai BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
“Ini sangat mengecewakan,” ujar Ardi, seorang pegawai swasta di Palembang, Selasa (6/5). “BUMN itu mengelola uang rakyat, dan seharusnya diawasi secara ketat, termasuk oleh KPK.
Kalau mereka dikecualikan, siapa yang bisa jamin tidak ada penyelewengan," ujarnya penuh tanya. Senada disampaikan oleh Nuraini.
Warga Ogan Ilir mengaku, khawatir jika perubahan aturan ini akan membuat ruang korupsi makin terbuka lebar.
“Kita sering dengar ada pejabat BUMN yang kena OTT karena main proyek. Kalau sekarang KPK tidak bisa lagi bertindak, saya khawatir dana negara bisa bocor ke mana-mana,” ujarnya.
Sementara itu, kalangan mahasiswa menyebut pengesahan UU ini sebagai bentuk mundurnya semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Sejak revisi UU KPK 2019, publik sudah curiga. Sekarang dengan UU BUMN ini, kesannya seperti ada perlindungan khusus untuk elite-elite BUMN. Ini mencederai prinsip demokrasi,” kata Randa, salah seorang mahasiswa salah satu PTN di Palembang.
Tak hanya mengkritik, sejumlah warga juga menyuarakan harapan agar pemerintah dan DPR segera meninjau ulang pasal-pasal yang dinilai melemahkan pengawasan tersebut.
“Kalau perlu, Mahkamah Konstitusi harus turun tangan,” ucap Aisyah, warga Prabumulih. “ Saya berharap, ada penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih," harapnya.
Sementara itu, Pengamat Sosial dan Politik Sumatera Selatan, Hamidi, S.IP, mengkritik keras disahkannya Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) Nomor 1 Tahun 2025 yang dianggap melemahkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengawasi praktik korupsi di lingkungan BUMN.
Menurut Hamidi, sejumlah pasal dalam UU tersebut, seperti Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G, jelas-jelas mengeluarkan pejabat BUMN dari kategori “penyelenggara negara”.
Hal ini, kata dia, merupakan pukulan telak bagi sistem pengawasan dan penegakan hukum yang selama ini diperjuangkan oleh KPK.
“Ini bukan hanya soal pasal administratif. Ini menyangkut pelepasan tanggung jawab publik dari individu yang mengelola uang rakyat. Direksi dan komisaris BUMN mengelola dana triliunan rupiah. Jika mereka tidak bisa lagi dijangkau KPK, maka kita sedang membuka jalan bagi korupsi berjemaah,” tegas Hamidi, Selasa (6/5).
Hamidi menilai UU ini sebagai bagian dari rangkaian pelemahan sistematis terhadap lembaga antirasuah yang sudah dimulai sejak revisi UU KPK pada 2019.
Ia menilai, negara justru sedang menciptakan zona nyaman bagi elite tertentu untuk terbebas dari pengawasan ketat.