Mantan Kades Pengancam Bersenpi Hanya Divonis 1 Tahun Picu Kontroversi : Keluarga Korban Menangis Histeris

Suasana sidang pembacaan putusan mantan kades yang menjadi terdakwa dalam kasus pengancaman dengan senpi organik. Foto : Dokumen palpos--

"Bila perlu kami akan melaporkan ke Presiden. Ini tidak adil karena semua unsur yang didakwakan terbukti bahwa dia menguasai dan tidak pernah menyesal dan tidak ada permintaan maaf. Artinya terdakwa menentang hukum," jelasnya.

Sementara itu, Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Lubuklinggau, Wenharnol, menjelaskan bahwa putusan hakim sudah mempertimbangkan fakta-fakta persidangan. 

BACA JUGA:Napak Tilas Muara Enim-Palembang : Kenang Perjuangan Jenderal Soedirman !

BACA JUGA:Ratusan Warga Kecamatan RKT Keluhkan Air Bersih

Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah sesuai dakwaan, tetapi hukuman yang dijatuhkan lebih ringan karena senjata api organik yang digunakan hanya dalam kepemilikan dan tidak dipakai langsung untuk melukai korban.

“Kalau senpi itu digunakan, hukuman tentu bisa lebih berat. Dalam hal ini, terdakwa hanya memiliki senjata tersebut dan menggunakannya untuk ancaman,” jelas Wenharnol.

Namun, pihak korban mendesak agar hukuman diperberat, mengaitkan kasus pengancaman ini dengan pembunuhan Hamsi yang terjadi empat hari setelah insiden ancaman. 

"Kasus pembunuhan tersebut hingga kini masih dalam penyelidikan Polres Lubuklinggau," kata Wenharnol.

BACA JUGA:Jelang Akhir Tahun : Realisasi PAD Kota Prabumulih Capai 80 Persen !

BACA JUGA:Pj. Bupati Muba Ajak Wujudkan Tata Kelola Perkebunan Berkelanjutan dan Hindari Korupsi

Kasus ini menyoroti pentingnya masyarakat memahami proses hukum, terutama terkait penerapan pasal dan pertimbangan hakim. Dalam kasus pidana seperti ini, faktor seperti niat, dampak ancaman, serta penggunaan senjata api menjadi pertimbangan utama dalam menentukan beratnya hukuman.

Masyarakat juga perlu memahami bahwa putusan hakim didasarkan pada fakta persidangan, meskipun tidak selalu memuaskan semua pihak. Jalur hukum seperti banding adalah mekanisme yang tersedia untuk mencari keadilan lebih lanjut.

Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa kepemilikan senjata api tanpa izin adalah pelanggaran serius. Sosialisasi mengenai Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 perlu diperkuat agar masyarakat memahami risiko hukum yang mengancam jika melanggar aturan tersebut.

Pihak korban telah menyatakan akan terus memperjuangkan keadilan melalui langkah hukum yang lebih tinggi. Perkembangan kasus ini diharapkan memberikan pelajaran penting mengenai supremasi hukum dan perlunya ketegasan dalam menangani tindak pidana yang melibatkan senjata api.

Hakim, jaksa, dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya dilakukan, tetapi juga terlihat dilakukan, terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut keselamatan publik. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan