Lawan Kampanye Hitam dan Negatif : Masyarakat Diminta Jadi Garda Terdepan !
Ilustrasi kampanye hitam dan negative.-Foto: Istimewa-
Namun, sambung Bagindo, saat ini suasana Pilkada di Sumsel terlihat jauh lebih soft dibanding 5 atau 10 tahun lalu. "Ya, sekarang masih wajar-wajar saja, belum ada
"Ya, kalaupun ada perbedaan pendapat masih wajar-wajar saja sekarang ini. Di medsos saya lihat juga masih wajar, netizen juga masih komentarnya biasa. Namanya, pilkada kan harus ramai," paparnya.
Bagindo menambahkan, dengan meningkatnya peran teknologi dalam politik, masyarakat diharapkan menjadi garda terdepan dalam melawan praktik kampanye kotor.
Pendidikan literasi digital menjadi kunci untuk membangun pemilih yang cerdas dan kritis.
"Jangan sampai kita terpecah karena informasi yang tidak benar. Mari bersama-sama menjaga integritas demokrasi Indonesia. Tetap waspada dan jadilah pemilih yang cerdas untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat," ungkapnya.
Sementara Pakar Hukum Pidana, Achmad Azhari SH mengatakan, bahwa berdasarkan Pasal 69 huruf c UU 8/2015 dan penjelasannya, secara tegas disebutkan bahwa kampanye hitam atau black campaign adalah melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Dapat dilihat di KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) kampanye hitam adalah kampanye dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik.
"Black campaign dapat pula diartikan sebagai kampanye yang bersifat kepada penghinaan, menyebarkan berita bohong, fitnah, atau ditujukan untuk menjatuhkan kandidat tertentu," katanya.
Selain itu, kegiatan black campaign tidak hanya merugikan pasangan dari calon yang diajukan dalam pemilihan umum (pemilu), tetapi juga merugikan masyarakat karena menerima informasi palsu atau hoax.
Pelanggaran kampanye hitam memang tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Aturannya di pasal 69 huruf b yakni menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik.
Dan huruf c disebutkan, melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Sanksi pidananya di pasal 187 ayat 2 pidana penjara minimal 3 bulan dan maksimal 18 bulan dan denda Rp600 ribu hingga Rp6 juta.
Sedangkan di aturan lain, pasal 280 ayat 1 Undang-undang Pemilu mengatur tentang larangan dalam kampanye disebutkan huruf c menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain, dan huruf d menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Di pasal ini juga mengatur bahwa tindakan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana maksimal 2 tahun penjara dan dikenakan denda maksimal Rp24 juta.