Suatu hari, seorang pemuda kaya dan tampan bernama Awangku Usop singgah di rumah Awang Gading.
Melihat kecantikan Dayang Kumunah, Awangku Usop langsung jatuh hati dan melamarnya.
Dayang Kumunah menerima lamaran tersebut dengan satu syarat: Awangku Usop tidak boleh meminta Dayang Kumunah untuk tertawa.
Awangku Usop setuju dengan syarat tersebut, dan pernikahan mereka dilangsungkan dengan pesta meriah.
Setelah pernikahan, Awang Gading meninggal dunia, membuat Dayang Kumunah sangat bersedih.
Namun, kesedihan itu terobati dengan kelahiran lima anak mereka.
Meskipun telah memiliki lima anak, Awangku Usop merasa kebahagiaannya belum lengkap tanpa melihat Dayang Kumunah tertawa.
Suatu hari, saat seluruh keluarga mereka tertawa bahagia melihat anak bungsu mereka mulai berjalan, Awangku Usop mendesak Dayang Kumunah untuk tertawa.
Akhirnya, Dayang Kumunah tertawa, tetapi saat itu juga tampaklah insang ikan di mulutnya, menandakan bahwa ia bukan manusia biasa.
Dayang Kumunah segera berlari ke sungai dan perlahan-lahan berubah menjadi ikan patin.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat sedih melihat perubahan tersebut. Mereka menyadari bahwa Awangku Usop telah mengingkari janjinya.
Dayang Kumunah meninggalkan mereka dan menjadi ikan patin, meninggalkan pesan untuk suaminya agar merawat anak-anak mereka dengan baik.
Karena kisah ini, Awangku Usop dan anak-anaknya berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka.
Legenda ini berdampak pada kebiasaan sebagian orang Melayu yang ogah memakan ikan patin.
Bagi mereka, ikan patin bukan hanya sekadar ikan, tetapi merupakan bagian dari cerita leluhur mereka yang penuh makna dan pengingat akan pentingnya menjaga janji.
Di sisi lain, budidaya ikan patin terus berkembang di Riau.