Berikutnya, tahapan kedua adalah pembukaan sasi yang ditujukan untuk memanen hasil biota laut yang telah dijaga agar tidak diambil secara sembarangan dan ilegal.
Pembukaan sasi diawali dengan ibadah di gereja.
Setelahnya, perwakilan gereja, pemerintah desa, tokoh adat, dan warga menaiki perahu motor menuju lokasi sasi yang terletak di sisi barat Kapatcol dengan waktu tempuh sekitar setengah jam.
Layaknya pesta rakyat, Kelompok Waifuna dan sejumlah warga Kapatcol, termasuk anak-anak turun langsung menyaksikan pembukaan sasi yang ditandai dengan pelarungan "pon fapo" atau persembahan bagi leluhur di wilayah sasi dan pencabutan papan sasi.
Lalu, Kelompok Waifuna melakukan penyelaman atau lebih dikenal dengan istilah "molo" dalam bahasa setempat untuk mengambil hasil-hasil laut.
Dalam penyelaman itu, anggota Kelompok Waifuna menggunakan perlengkapan selam tradisional, di antaranya kacamata renang yang terbuat dari kayu dan kaca.
Penangkapan hasil laut saat membuka sasi dibatasi berdasarkan ukuran biota laut.
Untuk teripang dan lola, kedua biota laut tersebut yang boleh diambil saat penangkapan adalah teripang dan lola dengan panjang 15 cm ke atas, sementara lobster dengan berat lebih dari 6 ons.
Setelah satu hingga dua minggu berselang, Kelompok Waifuna bersama-sama dengan warga Kampung Kapatcol akan bermusyawarah untuk kembali menutup sasi.
Setelah resmi menutup sasi, hasil panen laut tersebut tidak hanya disantap bersama-sama oleh warga Kampung Kapatcol, tetapi mereka juga menjualnya.
Uang hasil penjualan lalu digunakan untuk kebutuhan masyarakat, baik guna mendukung kegiatan keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun tabungan pendidikan dan kesehatan bagi warganya.
Pelaksanaan dan pengelolaan sasi laut yang memberikan banyak manfaat kepada warga setempat memang terbukti nyata.
Sebagaimana disampaikan Lukas Rumetna, praktik pengelolaan sasi laut memberikan banyak manfaat untuk warga, baik dari segi ekologi maupun segi sosial-kemasyarakatan.
Dari sisi ekologi, sasi laut bermanfaat melindungi biota laut dari kepunahan akibat pemanfaatan yang berlebih atau pengambilan yang bersifat merusak.
Hal senada juga disampaikan oleh tokoh agama di Kampung Kapatcol, Yesaya Kacili. Pendeta Yesaya mengatakan Raja Ampat memang diberkahi oleh Tuhan dengan biota laut yang melimpah.
Akan tetapi, ekosistem laut di wilayah Misool pernah mengalami kehancuran karena penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.