Menjaga standar kualitas berita dengan mengutamakan substansi, akurasi, serta faktor kebermanfaatan bagi audiens.
Kedua, media sosial diarahkan untuk lebih banyak memproduksi konten-konten edukatif.
Memang medsos tak melulu berisi sampah, banyak juga kreator yang membagikan konten-konten eduktif dalam berbagai bidang.
Hanya saja konten bagus kerap tenggelam oleh yang receh dan tidak berfaedah untuk penambah wawasan atau pengetahuan.
Kebijakan memperketat syarat monetisasi konten kiranya dapat meredam membludaknya konten sampah, begitupun peningkatan fitur deteksi spam oleh sejumlah platform media sosial.
Kemudian kesadaran manusia untuk hanya membuat dan menyebarkan konten baik yang bermanfaat, menjadi hal mendasar dalam memperbaiki perwajahan medsos agar tak menimbulkan polusi informasi.
Ketiga, warganet harus diedukasi untuk lebih memilih konten-konten yang sehat.
Bila para kreator membuat konten sensasional demi berburu cuan, sebenarnya audiens punya pilihan untuk tidak menontonnya.
Akal sehat menjadi filter alami supaya kita tidak gampang terbawa arus dengan melahap apapun yang dijejalkan ke beranda medsos.
Sindiran halus dari filsuf Prancis René Descartes (Discourse on Method,1637) yang menyatakan: “Common sense adalah hal yang paling merata dibagi di dunia, karena setiap orang berpikir ia memilikinya cukup”, secara lebih lugas bisa diartikan bahwa akal sehat sering dianggap ada, tapi jarang digunakan dengan kritis.
Merawat akal sehat dapat diwujudkan lewat kemampuan membedakan fakta atau opini, sumber kredibel atau abal-abal.
Penting untuk bersikap kritis agar tak sekadar menerima, tetapi memeriksa dan membandingkan.
Badai informasi bukan hanya soal konten, tapi intensitas dan kecepatan yang bisa membuat otak kewalahan.
Langkah lain dalam merawat akal sehat adalah dengan memilih sumber berita kredibel dan terverifikasi, mengatur waktu konsumsi media, atau sesekali mengambil jeda dan “puasa” informasi.
Perlu disadari bahwa merawat akal sehat tidak sebatas urusan logika tapi juga hati, supaya tidak gampang terbakar emosi gara-gara provokasi.
Dengan memadukan nalar kritis dan empati bisa membantu kita tetap obyektif sekaligus memiliki sikap belas kasih.