SK Kemendagri Picu Polemik : Risiko Retaknya Perjanjian Helsinki !

Sabtu 14 Jun 2025 - 19:17 WIB
Reporter : Maryati
Editor : Dahlia

Pemerintah Provinsi Aceh, melalui Sekretariat Daerah (Setda), menolak keputusan ini dan menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masih bagian dari Aceh, baik secara historis maupun administratif.

BACA JUGA:Palembang Pasang CCTV di 9 Titik Rawan

BACA JUGA:Hari Lingkungan Hidup 2025: Upaya Jangka Panjang Stop Polusi Plastik !

Unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat Aceh pun pecah di Jakarta dan beberapa kota di Aceh.

Aksi paling mencolok terjadi di depan Gedung Kemendagri pada Jumat (13/6), bertepatan dengan konferensi pers JK.

Mereka menuntut pencabutan SK Kemendagri dan meminta Presiden Joko Widodo turun tangan menyelesaikan masalah ini secara adil.

“Empat pulau ini bukan hanya aset geografis, tapi simbol sejarah Aceh. Jika diambil begitu saja tanpa dialog dan klarifikasi, akan mencederai semangat perdamaian yang telah dibangun susah payah sejak 2005,” ujar salah seorang peserta aksi.

JK menilai keputusan Kemendagri ini tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara.

Ia menegaskan, dasar hukum pembentukan wilayah provinsi tidak bisa diubah atau ditafsirkan sepihak hanya lewat surat keputusan menteri.

“Undang-undang tak bisa dibatalkan oleh SK menteri. Tapal batas Aceh sudah diatur dalam UU, dan UU itu merujuk pada hasil kesepakatan politik, termasuk MoU Helsinki. Kalau wilayah Aceh diubah tanpa persetujuan DPR dan masyarakat Aceh, itu namanya sepihak,” tegas JK.

Ia menyebutkan bahwa dalam sejarahnya, Aceh sempat menjadi bagian dari Sumatera Utara, namun kemudian berdiri sendiri sebagai provinsi karena dinamika politik dan sejarah konflik.

“Memang letaknya dekat Sumatera Utara. Tapi kedekatan geografis tak selalu menentukan administrasi wilayah. Sama halnya dengan pulau di Sulawesi Selatan yang dekat NTT, tapi tetap bagian Sulsel,” imbuhnya.

JK juga mengaku sudah bertemu langsung dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk membicarakan persoalan ini.

Ia berharap Kemendagri dapat meninjau ulang keputusan tersebut agar tidak memicu ketegangan yang lebih besar.

Pakar hukum tata negara, Prof. Zainal Arifin Mochtar, mengatakan bahwa perubahan wilayah administrasi harus melalui kajian hukum mendalam dan melibatkan DPR.

“Penetapan wilayah provinsi adalah domain undang-undang. Kepmendagri bersifat administratif, bukan konstitusional. Jika menyangkut tapal batas provinsi, harus ada persetujuan DPR dan partisipasi daerah yang terdampak,” jelasnya.

Kategori :