Meskipun semangat dan karya anak bangsa sudah di depan mata, Selo justru harus berhenti melaju karena satu hal: regulasi yang belum siap.
Pemerintah saat itu belum memiliki payung hukum untuk menguji dan mengesahkan mobil listrik sebagai kendaraan yang sah digunakan di jalan raya.
Alih-alih didukung, Selo malah harus disimpan dan tak boleh digunakan bebas di jalanan.
Ironis, ketika negara lain menyambut mobil listrik dengan subsidi dan insentif, Indonesia malah membuat proyek visioner ini jalan di tempat.
Beberapa kalangan menyebut ini sebagai contoh bagaimana birokrasi membunuh inovasi.
Tak sedikit yang kecewa, terlebih karena Selo sudah membuktikan bisa jalan, bisa tampil, dan bahkan menginspirasi.
Selo Adalah Simbol
Meski akhirnya tidak diproduksi massal, Selo sudah terlanjur menjadi simbol: bahwa Indonesia bisa.
Ia adalah bukti nyata bahwa anak-anak muda Indonesia mampu bersaing dengan insinyur luar negeri, bahwa inovasi tak harus datang dari Silicon Valley.
Kehadiran Selo membuka jalan bagi kesadaran baru akan pentingnya kendaraan ramah lingkungan.
Ia memantik diskusi publik, menginspirasi kampus-kampus teknik, dan mendorong lahirnya startup kendaraan listrik di Tanah Air.
Bahkan, pemerintah Indonesia kini tengah serius mengembangkan ekosistem EV (electric vehicle) secara nasional—sesuatu yang mungkin tak terjadi secepat ini tanpa kisah Selo.
Saatnya Mewarisi Semangat Selo
Hari ini, ketika nama-nama seperti Tesla, BYD, dan Hyundai berlomba mendominasi pasar mobil listrik, Indonesia justru punya peluang lebih besar dari sebelumnya.
Kita punya cadangan nikel terbesar, bahan utama baterai EV. Kita punya SDM teknik yang terus berkembang. Dan yang paling penting: kita pernah membuktikan bisa—melalui Selo.
Bukan tidak mungkin Selo bisa bangkit lagi. Teknologi makin murah, ekosistem EV semakin matang, dan pasar domestik sudah mulai terbuka.