Asal Usul dan Sejarah Marga Pegagan Ilir Suku II : Jejak 3 Pangeran dan Terusan Bujang !

Rabu 16 Apr 2025 - 09:13 WIB
Reporter : Maryati
Editor : Robiansyah

Sungai Ogan yang asli memiliki alur berkelok dan semakin dangkal karena sedimentasi.

Maka, Terusan Bujang menjadi jalur air alternatif yang lebih lurus dan deras arusnya. Sungai ini mengairi sawah-sawah di sepanjang dusun seperti Kota Daro, Ketapang, Jagolano, Rantau Panjang, Sejangko, Batun, Keman, Kijang, hingga Sirah Pulau Padang.

Hasil pertanian di wilayah ini pun meningkat tajam. Beras hasil sawah yang diairi Terusan Bujang terkenal dengan sebutan "Beras Pegagan" dan menjadi salah satu kebanggaan daerah Pegagan Ilir.

Pangeran Muhamad Nuh: Administrator Ulung dari Tanjung Sejaro

Menantu Pangeran Liting, Muhamad Nuh, atau dikenal sebagai Pangeran Anom Kesumo, adalah pemimpin Marga Pegagan Ilir Suku I yang melanjutkan pembangunan Terusan Bujang dari Sungai Rotan ke Pemulutan Ilir.

Ia memiliki kemampuan administratif yang unggul dan jaringan pertemanan yang luas, termasuk dengan pejabat kolonial seperti Residen Palembang dan Hoofd Jaksa.

Pangeran Nuh juga dikenal karena peranannya dalam pengembangan infrastruktur daerah. Ia turut membangun pasar Indralaya, memperluas akses jalan raya dari Tanjung Raja hingga Simpang Timbangan, dan membangun sistem irigasi dari Lebung Karangan.

Di masa kepemimpinannya, wilayah Marga Pegagan Ilir Suku I menjadi sangat maju, bahkan mendirikan Volksbank (Bank Rakyat) dan menjadi desa pertama yang memiliki akses telepon di zamannya.

Kantor Marga yang dipimpinnya menjadi pusat administrasi teladan, tempat magang bagi petugas dari marga lain.

Tanjung Sejaro juga memiliki sekolah tertua di Sumatera setelah Padang, yakni Vervoks School yang berdiri sejak 1916.

Bahkan, desa ini sempat menjadi lokasi kunjungan resmi para pejabat tinggi nasional, termasuk tiga menteri dan dua duta besar.

Setelah Pangeran Liting, jabatan Pasirah Marga Pegagan Ilir Suku II diteruskan oleh putranya, Haji Malian, yang memimpin selama 19 tahun.

Kemudian dilanjutkan oleh Depati Muhamad Nur (5 tahun), Thalib bin Ahyat bin Liting, Jemahir dari Ulak Kerbau, dan kembali ke Muhamad Nur. Selanjutnya, Jemahir kembali menjabat, diikuti oleh Sihar dan terakhir Abdulmalik.

Kisah perjalanan Marga Pegagan Ilir Suku II tak bisa dilepaskan dari sumbangsih ketiga pangeran—Pangeran Liting, Pangeran Muhamad Nuh, dan Pangeran Malian—yang bukan hanya membangun wilayahnya dari sisi infrastruktur dan pertanian, tapi juga memperkokoh identitas dan marwah marga di mata masyarakat dan pemerintah kolonial.

Sejarah Marga Pegagan Ilir Suku II adalah cerminan dari kekuatan lokal yang tumbuh dari sistem pemerintahan adat.

Jejak-jejaknya masih terlihat dari infrastruktur yang bertahan hingga kini dan cerita rakyat yang terus diwariskan.

Kategori :