Abdul Halik atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Liting merupakan Pasirah keempat dan yang paling berpengaruh dalam sejarah Marga Pegagan Ilir Suku II.
Ia memerintah selama 36 tahun dan dikenang sebagai pemimpin yang adil, visioner, dan dicintai rakyat.
Dalam sebuah cerita yang melegenda, saat masyarakat hendak memilih Pasirah baru, seluruh rakyat secara bulat menyebut nama Liting karena ia dikenal jujur dan cakap membaca-tulis.
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Sirah Pulau Padang OKI : Kisah Kekuasaan dan Kejatuhan Pangeran Batun !
BACA JUGA:Asal Usul dan Sejarah Suku Ogan Ilir : Warisan Budaya Besemah yang Hidup di Sepanjang Sungai Ogan !
Saat itu, Liting sedang berada di kebun mengumpulkan kayu pohon palas.
Rakyat mendatanginya dan mengajaknya pulang untuk diangkat menjadi Pasirah.
Meskipun menyatakan tidak bisa membaca huruf Latin—hanya bisa huruf Arab dan surat ulu—hal itu tidak menjadi halangan baginya untuk memimpin.
Kayu pohon palas yang ia bawa dari kebun kemudian disimpan di atas loteng Uma Beso dan dianggap pusaka oleh keturunannya.
Uma Beso dan seluruh peninggalannya kemudian terbakar, namun kenangan akan kepemimpinannya tetap hidup.
Selama masa jabatannya, Liting menerima berbagai tanda kehormatan, termasuk Bintang Emas, Tongkat Berkepala Emas, dan Bintang Besi.
Ia juga mendapatkan gelar kehormatan sebagai Pangeran Wirakrama. Jasanya yang paling monumental adalah pembangunan Terusan Bujang.
Terusan Bujang: Proyek Besar untuk Kemakmuran Rakyat
Terusan Bujang dibangun untuk memperlancar aliran air dari Dusun Talang Balai menuju Ketapang dan Pemulutan Hilir.
Panjang awalnya sekitar 15 kilometer dan lebar awalnya hanya dua setengah meter.
Proyek ini digarap secara bergotong-royong (turunan ayam) oleh rakyat dari berbagai kalangan, tua-muda, laki-laki dan perempuan.