Meski gagal menghadirkan saksi kunci, persidangan tetap berlanjut dengan mendengarkan keterangan dari dua ahli yang dihadirkan oleh tim JPU.
BACA JUGA:Lapor Polisi Ngaku Korban Perampokan : Seorang Perempuan di Prabumulih Malah Ditangkap Polisi !
Dua ahli tersebut adalah ahli perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan seorang ahli tambang.
Dalam persidangan sebelumnya, Aswari Rivai disebut sebagai sosok yang sangat diharapkan kehadirannya karena keterlibatannya dalam penandatangan SK izin tambang yang menjadi pusat perhatian.
SK tersebut diketahui memuat dua titik koordinat yang menjadi sumber masalah.
Hakim anggota, Fitriadi, bahkan sempat mempertanyakan keabsahan SK tersebut.
Ia menegaskan bahwa adanya dua titik koordinat dalam satu SK Bupati Lahat menjadi akar persoalan yang menyeret enam terdakwa ke meja hijau.
Aswari Rivai, saat menjabat sebagai Bupati Lahat, menandatangani SK izin tambang yang diduga bermasalah.
Dalam SK tersebut, terdapat dua titik koordinat, di mana salah satunya masuk ke wilayah izin tambang milik PT Bukit Asam (PTBA), sebuah perusahaan BUMN.
Menurut pengakuan saksi sebelumnya, tanda tangan Aswari pada SK tersebut diduga tidak sesuai dengan prosedur.
SK itu menjadi dasar bagi PT Andalas Bara Sejahtera untuk melakukan penambangan di luar area izin yang sah, yang akhirnya menyebabkan kerugian negara hingga Rp495 miliar lebih.
Dalam perkara ini, JPU mendakwa enam orang tersangka korupsi terkait IUP OP tambang batu bara.
Mereka terdiri dari tiga petinggi PT Andalas Bara Sejahtera, yakni Endre Saifoel, Gusnadi, dan Budiman.
Selain itu, ada juga tiga mantan pejabat Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Lahat, yaitu Misri, Saifullah Aprianto, dan Lepy Desmianti.
Para terdakwa diduga melakukan kegiatan penambangan di luar izin resmi mereka, masuk ke wilayah PTBA tanpa izin yang sah. Akibat perbuatan tersebut, negara dirugikan sebesar Rp495 miliar.