JAKARTA - Kepala Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Firman Muchtar mengatakan pihaknya telah menyiapkan berbagai langkah mitigasi risiko global untuk menjaga kestabilan perekonomian Indonesia.
Risiko global tersebut di antaranya perang Rusia-Ukraina, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, gejolak kebijakan moneter Amerika Serikat, serta defisit fiskal AS yang masih membengkak.
"Kami lakukan secara preemptive, kami mitigasi agar tetap menjaga pertumbuhan ekonomi," kata Firman saat kegiatan BNI Investor Daily Summit 2023 di Jakarta, Selasa.
BACA JUGA:Wapres Ingatkan Tidak Mudah Terprovokasi di Tahun Politik
Salah satu fokus utama BI dalam menyiapkan langkah mitigasi adalah menjaga kestabilan harga guna menekan kemungkinan naiknya imported inflation.
BI mewaspadai kemungkinan risiko global bertransmisi dengan peningkatan imported inflation.
"Inflasi masih menjadi sasaran utama price stability BI, mandat itu yang ingin kami jaga jangan sampai inflasi ini terus meningkat," jelas Firman.
BACA JUGA:Wapres Ingatkan ASN Jaga Netralitas di Pemilu 2024
Selain itu, BI juga berupaya memitigasi dari sisi harga barang yang bergejolak (volatile food), khususnya komoditas beras.
Dengan upaya tersebut, BI menargetkan sasaran inflasi pada 2024 akan lebih rendah dibandingkan dengan 2023, yakni menjadi 2,5 plus minus 1 persen dari 3 plus minus 1 persen.
Tak hanya dari sisi imported inflation, BI juga menyiapkan langkah mitigasi dari sisi volatilitas kurs. Langkah tersebut dilakukan dengan mengintervensi pasar, termasuk melalui surat berharga negara (SBN).
BACA JUGA:Tidak Lolos Tes Kesehatan Dinyatakan TMS
Bank sentral juga melakukan penguatan dari sisi penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Firman menjelaskan penerbitan SRBI memiliki dua tujuan, yakni sebagai instrumen moneter serta menjadi bagian dari pendalaman pasar keuangan.
"Jadi, aset yang digunakan untuk sekuritas adalah underlying dari SBN BI. Harapannya, ini adalah bagian dari upaya mendukung stabilitas nilai rupiah," ujar Firman.
Langkah mitigasi berikutnya adalah melonggarkan penyangga kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) dari 6 persen menjadi 5 persen.