Perhatikanlah, sejumlah kasus pelapor itu adalah orang yang mempunyai punya power, punya pengetahuan luas tentang seluk-beluk hukum, punya kekuatan uang.
Sementara terlapornya adalah mereka yang lemah (maaf) boleh dikatakan sangat susah. Lihatlah guru Supriyani dihonori Rp300 rb/bulan= Rp10 rb/hari.
Statusnya yang honorer, lemah, menjadi objek yang potensial untuk mendatangkan uang damai yang jumlahnya mengerikan bagi terlapor.
Umumnya terlapor itu adalah guru muda atau honorer yang posisinya lemah.
Itu sebabnya dalam sejumlah negosiasi pihak pelapor menghendaki guru itu didepak dari sekolah tempat ia menjadi guru honor.
Para guru yang merindukan kedamaian itu umumnya juga punya kekeliruan dalam memandang keadilan.
Guru, karena ia menjalankan profesi mulia, ia meyakini bahwa keadilan itu akan datang pada orang yang baik dan mulia.
Mereka lupa bahwa keadilan itu sesuatu yang harus direbut, diperjuangkan dengan gigih bagai merebut kemenangan dalam sebuah pertandingan sepak bola.
Dalam dunia sepak bola, kemenangan harus direbut melalui strategi, perjuangan untuk tidak menyerah.
Tidak cukup sampai di situ bahkan harus pula diwaspadai netralitas wasit, panitia, mafia pengatur skor yang backingnya fantastis.
Begitulah realitasnya, keadilan itu harus dipertarungkan melawan ketakadilan. Bukankah kedua-duanya sama-sama mengingkan kemenangan. Kedua-duanya persis sama.
Bedanya mungkin, yang satu punya power yang bisa dimainkan.
Selamat Hari Guru, Bengkulu November 2024
*Penulis adalah purnabakti dosen Universitas Bengkulu. Sejak tahun 2000 membantu kepolisian dalam bidang linguistik foresik.