Tahun 1992, di Bengkulu seorang guru SMAN 3 berinisial EO, ketika itu , dilaporkan oleh wali muridnya yang berprofesi sebagai pengacara karena guru dianggap menghina muridadnya dihadapan teman sekelasnya.
Guru yang membawa buku induk sekolah bertanya pada muridnya prihal nomor telpon rumah orangtuanya.
Si murid menjawab “tidak ada” lalu gurunya meragukan jawaban itu dengak perkataan, ”Ah jangan berbohong” Lalu guru mengkonfirmasi pekerjaan orangtuanya.
“Orangtuamu pengacara bukan?”.
Murid menjawab “Ya”.
Lalu guru menyatakan: “Nah, ketahuan bohong bukan, masa pengacara tak punya telepon rumah” Percakapan di klas itu disambut tawa oleh teman di kelasnya.
Si anak merasa diperamlukan oleh gurunya, lalu mengadukan peristiwa itu ke bapaknya yang pengacara.
Sang pengacara tampaknya melihat ini sebuah peluang, lalu melaporkan guru ke pihak berwajib sampai manjadi terdakwa.
Wali yang pengacara itu sukses mentersangkakan guru dari buah hatinya. Peristiwa itu membuat suasana gempar di daerah.
Sidang atas dakwaan penghinaan itu membuat guru terheran-heran kenapa guru diseret ke meja hijau oleh wali murid.
Akibatnya, Murid, guru muda dan pengacara itu menjadi topik pembicaraan publik, membuahkan bibir tersenyum pahit bagi guru dan dunia pendidikan dan senyum yang sebenarnya bagi pelapor.
Kasus seperti disebut di atas bukanlah satu-satunya.
Kasus yang lebih seru adalah kasus yang dituduhkan kepad Supriyani guru SDN 04 Baito Konawe Sulawesi Tenggara yang masih hangat dibincangkan.
Kasus guru yang dihonori tiga ratus rupiah perbulan itu terbetik bermotif minta uang damai lima puluh juta. Karena guru honorer itu tak sanggup membayar kasusnya menjadi naik ke persidangan, artinya sukses dijadi terdakwa.
Kasus seperti Supriyani guru honorer ini bukan pula satu-satunya, masih banyak lagi guru yang dilaporkan dan diminta uang damai, menyedihkan.
Cukup mengherankan mengapa peristiwa seperti itu bisa sampai ke meja hijau. Keheranan itu bisa diurai berdasarkan fakta yang ada.