Namun, pada Kamis (26/9), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan tersebut.
Meskipun demikian, MK menekankan bahwa tindakan mengambil anak secara paksa tanpa hak dapat dipidana, yang berarti ada langkah hukum yang dapat diambil oleh para ibu yang mengalami perampasan hak asuh.
“Keputusan MK ini penting karena memberikan penegasan bahwa pengambilan anak secara paksa adalah tindakan yang melanggar hukum,” kata Alimatul Qibtiyah.
BACA JUGA:Langkah-langkah Memperbaiki Trauma Psikologis pada Anak Korban Kekerasan, Simak Penjelasnnya!
BACA JUGA:Kasus Kekerasan Seksual di Musi Rawas Jadi Sorotan Banyak Pihak, Ini Tanggapan Kepala DPPPA
Komnas Perempuan mencatat bahwa perampasan hak asuh anak oleh mantan suami bukanlah kasus yang terisolasi.
Dari data pelaporan yang diterima antara tahun 2019 hingga 2023, tercatat bahwa sekitar sepertiga atau 93 dari total 309 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami (KMS) berkaitan dengan pengasuhan anak.
Di antara 93 kasus tersebut, sebanyak 44 kasus terjadi meskipun para ibu sudah mendapatkan hak pengasuhan anak berdasarkan keputusan pengadilan.
Lebih lanjut, kekerasan ini juga muncul dalam konteks perceraian yang masih berlangsung.
Banyak suami yang sengaja menyembunyikan anak atau memutus hubungan anak dengan ibu mereka sebagai cara untuk menekan istri agar tidak melanjutkan proses perceraian.
“Ini adalah bentuk kekerasan psikologis yang tidak hanya berdampak pada ibu, tetapi juga pada anak,” kata Theresia Iswarini.
Dampak dari perampasan hak asuh anak ini sangat serius.
Banyak ibu yang mengalami stres, depresi, dan perasaan putus asa akibat kehilangan akses terhadap anak-anak mereka.
Situasi ini juga berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan mental yang lebih serius dan memengaruhi kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
“Penderitaan ini tidak hanya dialami oleh ibu, tetapi juga anak-anak yang menjadi korban dari konflik orang tua mereka,” kata Andy Yentriyani.
Komnas Perempuan mengusulkan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini.