Dugaan ini muncul setelah Kepala Pemasaran PT BCR melakukan sosialisasi sehari sebelumnya, mengimbau para pedagang agar pindah ke tempat penampungan sementara (TPS) dengan syarat membayar DP sebesar 20 persen dari harga kios baru.
BACA JUGA:Waspada ! Garuda Indonesia Grup tidak Rekrutmen Pegawai : GDPS Ungkap Penipuan Perekrutan Pegawai
BACA JUGA:Dede Pengurus Sumur Minyak Ilegal yang Terbakar di Tanjung Dalam Diamankan
"Para pedagang diimbau pindah ke TPS, tapi harus membayar DP 20 persen dari harga kios. Kami menduga pengerusakan ini dilakukan untuk memaksa pedagang yang belum membayar DP agar segera pindah," ujar Eddy.
Eddy mengaku sebelumnya telah memperingatkan pihak yang berkonflik agar tidak melakukan tindakan kekerasan atau pengerusakan.
Namun, insiden ini tetap terjadi, memperkuat dugaan adanya unsur tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Menanggapi tuduhan tersebut, PT BCR sebagai pengelola Gedung Pasar 16 Ilir, melalui Kuasa Hukum Suharyono, dengan tegas membantah keterlibatan mereka dalam insiden pengerusakan dan penjarahan tersebut.
Suharyono menyatakan bahwa PT BCR tidak memiliki kepentingan apapun untuk melakukan tindakan perusakan atau pencurian barang dagangan milik pedagang.
“Mengobrak-abrik dan mencuri itu bukan tindakan kami. Kami tidak ada kepentingan untuk melakukan hal seperti itu. Kepentingan kami hanyalah meminta pedagang untuk pindah dari gedung ke tempat penampungan sementara (TPS) yang telah disediakan di bawah Jembatan Ampera,” jelas Suharyono.
Suharyono juga menambahkan bahwa PT BCR telah menyediakan TPS tanpa menggunakan ancaman atau paksaan. Menurutnya, tuduhan yang diarahkan kepada PT BCR kemungkinan besar merupakan upaya dari pihak lain yang ingin "mengkambinghitamkan" perusahaan mereka.
“Kami tidak pernah melakukan pengancaman, apalagi pengerusakan. Justru kami menduga ada pihak lain yang mencoba mengkambinghitamkan PT BCR dalam insiden ini,” tegas Suharyono.
Konflik antara pedagang Pasar 16 Ilir dan PT BCR bukanlah hal baru.
Sejak adanya rencana relokasi pedagang ke TPS di bawah Jembatan Ampera, banyak pedagang yang menolak pindah, terutama karena harus membayar DP untuk mendapatkan lapak baru.
Pedagang merasa dipaksa dan tidak diberi pilihan yang adil dalam proses ini, sementara PT BCR bersikeras bahwa langkah ini diperlukan untuk renovasi dan penataan pasar.
Keadaan semakin memanas dengan adanya insiden pengerusakan dan penjarahan, yang menambah ketegangan di antara kedua belah pihak.
Meskipun PT BCR telah membantah keterlibatan mereka, pedagang tetap curiga bahwa insiden ini merupakan bagian dari upaya untuk memaksa mereka meninggalkan pasar.