Nama ilmiahnya, Aerides obyrneana, diambil sebagai penghormatan kepada mendiang Peter O’Byrne, seorang ahli anggrek dan penulis referensi taksonomi anggrek di Asia Tenggara.
O’Byrne dikenal atas kontribusinya yang besar terhadap penelitian anggrek di kawasan ini, khususnya di Sulawesi.
Aerides obyrneana hidup sebagai epifit, yaitu tumbuh menempel pada batang pohon tanpa merugikan inangnya.
BACA JUGA:7 Provinsi Penghasil Emas Terbesar di Indonesia : Cek, Sumatera Selatan Nomor Berapa ?
Berbeda dengan tumbuhan parasit, epifit seperti anggrek ini hanya memanfaatkan pohon sebagai tempat berpijak dan tidak mengambil nutrisi dari pohon tersebut.
Spesies ini memiliki ukuran yang relatif kecil, dengan batang berdaun setinggi 10-16 cm.
Daunnya panjang dan tipis, memanjang seperti pita dengan panjang sekitar 4-13 cm.
Akar-akarnya yang panjang, mencapai 60 cm, berfungsi untuk menyerap kelembapan dari udara dan kulit pohon, serta menyimpan cadangan air.
Habitat alami Aerides obyrneana adalah tepian hutan semi-terbuka dengan sirkulasi udara yang baik dan intensitas cahaya sekitar 50-70 persen.
Spesies ini menunjukkan adaptasi yang baik terhadap lingkungan dengan kelembapan rendah serta suhu dan cahaya yang tinggi.
Hal ini terlihat dari daunnya yang sempit, memanjang, tebal, dan memiliki permukaan atas yang berkutikula.
Kondisi ini memungkinkan anggrek untuk bertahan dalam kondisi yang mungkin tidak bersahabat bagi spesies tumbuhan lainnya.
Ketika berbunga, Aerides obyrneana menampilkan keindahan yang memukau. Bunganya memiliki ukuran lebar sekitar 2,4-2,6 cm dengan sepal dan petal yang kaku dan berlilin.
Bibir bunga bercuping tiga dengan cuping tengah berbentuk kipas (flabellate) yang terbagi menjadi empat ruang (lobules) dengan tepi bergerigi.
Salah satu ciri khas lainnya adalah keberadaan spur atau dagu bunga yang melengkung dan berisi cairan nektar, yang berfungsi menarik serangga penyerbuk.