Pasuruan: Kecamatan Gondang Wetan dan Pohjentrek mengalami kekeringan selama 86 hari.
Situbondo: Kecamatan Kapongan dan Mangaran mengalami kekeringan selama 86 hari.
Banyuwangi: Kecamatan Pesawaran, Bajulmati, dan Alas Buluh mengalami kekeringan selama 85 hari.
Blitar: Kecamatan Kanigoto, Wonodadi, Udanawu, Sanakulon, dan Serengat mengalami kekeringan selama 85 hari.
Mojokerto: Kecamatan Tromilulan mengalami kekeringan selama 85 hari.
Tulungagung: Kecamatan Kalidawir, Karang Rejo, dan Rejotangan mengalami kekeringan selama 85 hari.
Kekeringan ekstrem ini membawa dampak serius bagi masyarakat, terutama dalam sektor pertanian dan ketersediaan air bersih.
Kekurangan hujan berpotensi menyebabkan gagal panen dan perubahan periode tanam yang dapat mengganggu pendapatan petani.
Selain itu, kekeringan juga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan.
BMKG mencatat bahwa provinsi-provinci yang terdampak kekeringan seperti NTB, NTT, dan Jatim memiliki potensi tinggi untuk terjadinya kebakaran, terutama di daerah-daerah dengan vegetasi kering.
“Upaya mitigasi harus difokuskan pada pengelolaan air, terutama untuk sektor pertanian, serta peningkatan sistem peringatan dini untuk kebakaran hutan,” ujar Ardhasena.
Dia juga mengingatkan pentingnya perhatian terhadap kesehatan masyarakat, termasuk potensi penyebaran penyakit seperti demam berdarah yang dapat meningkat selama musim kering akibat frekuensi gigitan nyamuk.
BMKG merekomendasikan berbagai langkah mitigasi untuk menghadapi kekeringan ekstrem ini:
1. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Air: Penataan penggunaan air yang lebih efisien dan pembangunan infrastruktur penampungan air.
2. Dukungan untuk Sektor Pertanian: Penyediaan bantuan untuk petani seperti bibit tahan kekeringan dan teknologi irigasi.
3. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan: Pengawasan dan pemantauan yang ketat di daerah rawan kebakaran.