Maut Datang Usai Nekat Telanjangi Nukit Tapanuli
Bukit yang longsor di Kelurahan Hutanabolon, Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara-Foto : M Riezko Bima Elko Prasetyo/antara -
Rumah-rumah milik lebih dari 150 keluarga hancur bahkan separuh sudah tak rata dengan tanah.
Dalam skala lebih luas, Tapanuli Tengah mencatat 110 orang meninggal, 93 orang hilang, dan ratusan ribu jiwa mengungsi posko darurat.
Tegas sekali bencana ini bukan sekadar tentang curah hujan tinggi karena dinamika atmosfer atau sekadar tanah yang runtuh.
Ia adalah cerita panjang akibat ulah manusia itu sendiri yang nekad menelanjangi bukit dari tutupan hutan.
Selama keseimbangan itu terus diabaikan, tragedi hanya menunggu giliran untuk kembali turun dari lereng.
Maut itu tidak pernah datang tergesa-gesa.
Ia berjalan perlahan seperti embun yang turun tanpa suara.
Ia menunggu manusia membuka celah pertama di tubuh bukit yang selama ini diam menjaga rahasianya.
Setiap tebasan batang yang tumbang, setiap alur air yang dipaksa berubah arah, adalah undangan yang tidak diucapkan.
Ketika akhirnya maut itu datang, ia tidak mengetuk pintu. Ia datang sebagai tanah yang pecah, air yang menerjang, batu yang meluncur.
Ia datang sebagai malam gelap yang memeluk apa pun yang berdiri di bawah bukit. Rumah, jalan, ladang, manusia. Semua tanpa dipilih-pilih.
Setelahnya, aliran sungai rusak hingga air mengalir dari banyak sisi. Bukit berdiri telanjang memamerkan luka yang terlalu lebar untuk ditatap.
Dan manusia kembali membangun, mencoba berdamai dengan tanah hutan yang mereka sakiti sendiri.
Begitulah maut datang di Tapanuli: Pelan, gelap, lalu menghilang, meninggalkan manusia dengan sebuah pertanyaan apakah semua puas dengan dampak dari kerusakan alam ini?(ant)