Cegah Terorisme, Orang Tua Diminta Rutin Cek Ponsel Anak
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayor Jenderal TNI Sudaryanto dalam kegiatan Rembuk Merah Putih-Foto : ANTARA-
Kedua, pembentukan tim terpadu lintas kementerian/lembaga untuk deteksi dini, edukasi, intervensi pencegahan, penegakan hukum, pendampingan psikologis, serta pengawasan pascaintervensi.
BACA JUGA:MK Wajibkan Polisi Mundur Jika Isi Jabatan Sipil
Ketiga, penyusunan standard operating procedure (SOP) teknis bagi seluruh pemangku kepentingan agar penanganan dilakukan secara cepat, seragam, dan sesuai pada mandat serta tupoksi pada masing-masing institusi.
Terakhir, Polri meminta agar seluruh elemen masyarakat untuk peduli dengan fenomena ini dan dapat terus ikut serta dalam menghentikan mata rantai rekrutmen online.
“Polri beserta seluruh kementerian dan lembaga, menegaskan komitmen untuk melindungi anak-anak Indonesia dari ancaman radikalisasi, eksploitasi ideologi, maupun kekerasan digital untuk melindungi anak-anak Indonesia serta terus bekerja sama dengan seluruh unsur-unsur pemerintah serta masyarakat,” ucapnya.
Sementara itu, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mencatat hingga saat ini terdapat 110 anak yang diduga direkrut jaringan terorisme.
“Ada sekitar 110 anak yang berusia rentang antara 10 hingga 18 tahun, tersebar di 23 provinsi, yang diduga terekrut oleh jaringan terorisme,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Ia mengungkapkan, modus propaganda yang digunakan jaringan terorisme adalah melalui ruang digital secara bertahap.
“Propaganda pada awalnya diseminasi melalui platform yang lebih terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online,” katanya.
Propaganda itu, ujar dia, berbentuk video pendek, animasi, meme, serta musik yang dikemas menarik untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis.
Kemudian, anak yang dianggap menjadi target potensial akan dihubungi secara pribadi oleh jaringan terorisme melalui platform yang lebih tertutup, seperti Facebook dan Telegram.
Ia menyebut, kerentanan anak terpapar radikalisme dipengaruhi sejumlah faktor sosial, di antaranya bullying (perundungan), kurangnya perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama.
Dalam kesempatan yang sama, Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana mengatakan bahwa pihaknya melihat ada tren kenaikan jumlah anak yang diduga direkrut dalam jaringan terorisme.
Pada tahun 2011-2017, Densus 88 mengamankan kurang lebih 17 anak korban rekrutmen. Akan tetapi, pada akhir tahun 2024 hingga tahun 2025, ada 110 anak yang teridentifikasi.
“Ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring,” ujarnya.