Tambang Rakyat, dari Legalitas Menuju Kesejahteraan

Warga menambang material yang diduga mengandung emas di kawasan perbukitan Sekotong, Lombok Barat, NTB, Rabu (9/7/2025)-Foto : ANTARA-

KORANPALPOS.COM – Pertambangan selalu menghadirkan paradoks.

Di satu sisi, ia menjanjikan kemakmuran dengan kontribusi besar terhadap ekonomi daerah.

Di sisi lain, ia meninggalkan luka ekologis dan sosial yang sulit disembuhkan.

Dari Afrika hingga Amerika Latin, dari Kalimantan hingga Papua, dilema itu serupa, yakni tambang rakyat sering kali berdiri di persimpangan antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.

Di Indonesia, Undang-Undang Minerba mencoba menawarkan jalan tengah melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Legalitas ini diharapkan menjadi pintu resmi bagi masyarakat mengelola tambang skala kecil secara aman, adil, dan berkeadilan.

Namun, pertanyaan penting muncul, apakah legalisasi cukup untuk menjamin keadilan sosial, transparansi, dan keberlanjutan lingkungan?

Pertanyaan itu kini menemukan relevansinya di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Sebanyak 13 koperasi dari Lombok Barat, Sumbawa, Dompu, hingga Kabupaten Bima mengajukan IPR melalui sistem online single submission (OSS) maupun jalur manual.

Momentum ini terlihat menjanjikan.

Tambang rakyat yang selama ini kerap berjalan dalam bayang-bayang ilegal mulai masuk ke ranah legal, tetapi pengalaman panjang di berbagai daerah mengingatkan kita bahwa legalitas bisa menjadi topeng baru jika tanpa pengawasan ketat dan tata kelola yang sehat.

Tambang memang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi NTB. Pada Triwulan I 2025, kontribusinya sekitar 16 persen terhadap struktur ekonomi, meski menurun dari 21,1 persen di triwulan sebelumnya.

Dari sisi investasi, sektor pertambangan masih menempati posisi teratas, dengan nilai mencapai Rp23,2 triliun pada tahun 2023.

Angka itu menunjukkan betapa besarnya peran sektor ini bagi arus modal di NTB.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan