Tambang Rakyat, dari Legalitas Menuju Kesejahteraan

Warga menambang material yang diduga mengandung emas di kawasan perbukitan Sekotong, Lombok Barat, NTB, Rabu (9/7/2025)-Foto : ANTARA-
Namun, kontribusi besar itu tidak serta-merta menghadirkan manfaat luas.
Sumbangan pertambangan terhadap penciptaan lapangan kerja relatif kecil, di bawah dua persen dari total tenaga kerja.
Bandingkan dengan sektor pertanian dan pariwisata yang lebih menyerap tenaga kerja.
Ini menunjukkan pertambangan menghasilkan nilai ekonomi tinggi, tetapi dengan manfaat yang timpang, tanpa efek ganda yang signifikan bagi masyarakat lokal.
Di atas kertas, IPR memberi ruang legal yang lebih aman dibandingkan aktivitas tambang ilegal.
Peprov NTB bahkan sudah mulai menjajaki pilot project untuk menguji implementasi IPR.
Gubernur menilai legalisasi penting agar ada kontrol, ketimbang membiarkan tambang ilegal yang tidak terkendali.
Meskipun demikian, proses administrasi bukanlah jaminan.
Selain kelengkapan dokumen UKL-UPL, struktur pengurus, dan rencana reklamasi pascatambang, ada tantangan nyata dalam praktik pengelolaan.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTB, bahkan mengingatkan agar izin koperasi tidak sekadar formalitas.
Legalitas harus diuji dalam implementasi nyata, terutama terkait wilayah yang rawan tumpang tindih dengan IUP perusahaan besar, serta dampak lingkungan yang tidak bisa diabaikan.
Risiko besar mengintai jika izin hanya menjadi legitimasi bagi elit lokal atau pemodal besar untuk menguasai sumber daya.
Tanpa pengawasan ketat, koperasi yang mestinya menjadi wadah kolektif bisa bergeser menjadi kendaraan kepentingan sempit atau bahkan celah baru bagi praktik korupsi yang lebih halus.
NTB memiliki jejak pahit dalam hal kerusakan lingkungan akibat tambang.
Di Lombok Timur, aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) merusak sungai dan pesisir, memicu risiko kesehatan akibat penggunaan bahan kimia berbahaya.