Tambang Rakyat, dari Legalitas Menuju Kesejahteraan

Warga menambang material yang diduga mengandung emas di kawasan perbukitan Sekotong, Lombok Barat, NTB, Rabu (9/7/2025)-Foto : ANTARA-
Di Sumbawa, konflik sosial kerap mewarnai persaingan antara penambang lokal dan pemodal besar.
Semua ini menjadi peringatan bahwa legalitas tanpa disiplin lingkungan hanyalah label kosong, tanpa substansi perubahan.
Koperasi diyakini bisa menjadi instrumen solidaritas dan pemerataan manfaat.
Mekanismenya berbasis musyawarah anggota dan pembagian hasil yang seharusnya adil.
Namun idealisme koperasi bisa runtuh ketika modal besar masuk dan menggeser orientasi dari kesejahteraan bersama menjadi sekadar kendaraan akumulasi keuntungan.
Karena itu, penguatan kelembagaan koperasi menjadi keharusan, seperti halnya audit rutin, pelatihan manajerial, transparansi keanggotaan, hingga publikasi hasil produksi.
Koperasi harus kembali ke jati dirinya sebagai rumah bersama, bukan sekadar bendera legal untuk tambang rakyat.
NTB memiliki peluang menjadi pionir reformasi tata kelola tambang berbasis koperasi dengan tiga langkah strategis.
Pertama, digitalisasi dan keterbukaan data. Izin, volume produksi, lokasi tambang, hingga rencana reklamasi harus dipublikasikan secara daring agar masyarakat dapat ikut mengawasi.
Kedua, partisipasi publik. Akademisi, media, dan masyarakat sipil dilibatkan sebagai pengawas aktif. Transparansi adalah benteng utama untuk menghindari penyimpangan.
Ketiga, penegakan hukum dan etika politik.
Korupsi tambang sama artinya dengan merampas masa depan.
Penegak hukum, pemerintah daerah, dan legislatif harus tegas dan transparan, tanpa kompromi terhadap kepentingan pribadi atau kelompok.
Persoalan tambang rakyat tidak hanya ada di NTB, tetapi juga di Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Hal yang membedakan adalah apakah NTB mampu menjadikan momentum ini sebagai laboratorium reformasi tata kelola?