Waspadai Hoaks Terkait Demonstrasi, Penjarahan, dan Provokasi Digital
Komjen Pol Dedi Prasetyo, Wakapolri-Foto : ANTARA-
KORANPALPOS.COM - Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menganjurkan warga untuk mewaspadai peredaran masif hoaks di ruang digital berkenaan dengan demonstrasi-demonstrasi yang sejak Kamis (28/8/2025) terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
Dalam keterangan persnya yang dikonfirmasi pada Senin, Mafindo menyampaikan bahwa hoaks yang beredar mencakup klaim penjarahan di gedung DPR dan Mall Atrium Senen serta hoaks yang dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau deep fake.
Menurut Mafindo, hoaks mengenai kerusuhan, penjarahan, dan represi aparat yang beredar di media sosial maupun aplikasi pesan bisa memperkeruh situasi dan memicu eskalasi kekerasan.
"Akibatnya, muncul ketidakpastian, kemarahan, hasutan kebencian, dan aksi kekerasan," kata Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho.
BACA JUGA:Dorong Kepedulian Sosial, Gubernur Sumsel Apresiasi Jalan Sehat dan Bakti Sosial IKA UII
BACA JUGA:Chandi 2025 Dibuka dengan Pesta Rakyat di Bali, Tampilkan Seni Tradisi dan Kontemporer
Dia mengingatkan masyarakat agar mewaspadai peredaran misinformasi, disinformasi, malinformasi, dan ujaran kebencian di antara informasi yang membanjiri platform media sosial.
"Masyarakat jangan mudah terprovokasi oleh konten tidak jelas, hoaks, maupun hasutan kebencian," kata Septiaji.
Dia juga mengingatkan warga agar memanfaatkan informasi dari media massa arus utama maupun platform media sosial secara bertanggung jawab.
Septiaji mengemukakan bahwa bersamaan dengan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat di jalanan, warganet menyuarakan aspirasi mereka melalui aktivisme di ruang digital.
BACA JUGA:Ormas Islam Dukung Presiden Prabowo, Akademisi Ingatkan Ketimpangan, DPR Diminta Hentikan Tunjangan
BACA JUGA:PAN Nonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya dari Keanggotaan DPR RI
Warganet menampilkan siaran langsung serta menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka melalui platform-platform digital.
Septiaji mengatakan bahwa aktivisme di ruang digital kadang disertai doxing atau pembukaan data pribadi tanpa izin, pelanggaran privasi, persekusi daring, serta serangan siber.