Amnesti, Abolisi, dan Tantangan Demokrasi Digital

Presiden Prabowo Subianto-Foto: Istimewa-
BACA JUGA:Pemprov Bantu Perbaikan Infrastruktur Jalan
Dengan menjaga independensi yudikatif, Prabowo telah mempertahankan kredibilitas institusi hukum, baik di mata rakyat maupun dunia internasional.
Sebagai hak konstitusional presiden, pemberian amnesti dan abolisi adalah sah.
Jika melihat kondisi ekonomi dan politik global saat ini, langkah tersebut akan menjaga ekuilibrium antara kekuatan politik Islam dan nasionalis, serta menjadi modal Prabowo untuk tampil sebagai pemimpin kuat di mata dunia.
BACA JUGA:Pemprov Bantu Perbaikan Infrastruktur Jalan
BACA JUGA:Rekonsiliasi Nasional, Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong
Yang tidak kalah penting, ini juga akan menjadi modal bagi kita untuk bisa melawan kekuatan ekonomi dunia.
Namun di sisi lain, pemberian amnesti dan abolisi pasca-proses hukum selesai memunculkan dilema baru.
Apakah ini benar-benar mencerminkan keseimbangan antara hukum dan rekonsiliasi, atau justru membuka celah bagi persepsi bahwa hukum dapat “diakali” demi kepentingan politik?
Kritik dari pegiat antikorupsi, yang khawatir keputusan ini melemahkan penegakan hukum, tidak bisa diabaikan.
Dalam konteks global, hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan investor atau peringkat Indonesia dalam Corruption Perceptions Index dari Transparency International.
Dinamika opini publik di media sosial menjadi katalis penting dalam keputusan ini.
Narasi tentang “rekayasa hukum” dan “kriminalisasi politik” membanjiri X, menciptakan tekanan publik yang sulit diabaikan.
Media sosial kini bukan sekadar alat komunikasi, melainkan arena kekuasaan yang mampu mengguncang dan mempengaruhi stabilitas politik, sebagaimana terlihat pada gerakan #BlackLivesMatter atau Arab Spring.
Media sosial adalah “pedang bermata dua.”