Amnesti, Abolisi, dan Tantangan Demokrasi Digital
Presiden Prabowo Subianto-Foto: Istimewa-
Di satu sisi, ia memperkuat demokrasi partisipatif dengan memberi ruang bagi suara rakyat. Di sisi lain, ia rentan terhadap disinformasi dan manipulasi emosional yang dapat membelokkan prinsip hukum.
Dalam kasus ini, gelombang narasi di X mendorong perhatian pada Hasto dan Lembong, tetapi juga menggarisbawahi urgensi literasi digital.
Tanpa kemampuan kritis dalam menilai informasi, publik berisiko terjebak dalam polarisasi yang dapat merusak demokrasi.
Dukungan penuh DPR terhadap keputusan Prabowo menunjukkan bahwa amnesti dan abolisi bukan keputusan sepihak, melainkan bagian dari konsolidasi politik yang sah.
Prof. Anne-Marie Slaughter menyebut sinergi eksekutif-legislatif sebagai tanda “demokrasi yang matang.”
Dukungan ini memperkuat legitimasi politik Prabowo dan menegaskan kepercayaan publik pada institusi negara.
Di kancah internasional, keputusan ini memiliki bobot strategis.
Menjelang pidato perdana Prabowo di Sidang Umum PBB tahun ini, amnesti dan abolisi ini menjadi sinyal bahwa Indonesia terbuka terhadap perbedaan politik dan menghormati HAM.
Pembebasan tokoh-tokoh yang dituduh “makar tanpa kekerasan” atau “menghina presiden” menjawab kritik global soal kriminalisasi politik, meningkatkan citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang inklusif di mata PBB, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dan negara-negara Barat.
Khususnya, abolisi untuk Tom Lembong, figur yang dikenal di kalangan investor global, mengirim pesan bahwa Indonesia tetap ramah terhadap investasi asing.
Ini dapat memperlancar negosiasi perdagangan seperti Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa atau Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF).
Keputusan pemberian amnesti dan abolisi menawarkan tiga pelajaran penting bagi demokrasi Indonesia.
Pertama, media sosial adalah alat demokrasi yang ampuh, tetapi tanpa literasi digital, ia dapat menjadi ancaman bagi keadilan hukum.
Kedua, independensi yudikatif adalah fondasi negara hukum yang harus dijaga, meski di tengah tekanan politik.
Ketiga, kepemimpinan sejati adalah kemampuan menyeimbangkan hukum, politik, dan kemanusiaan tanpa mengorbankan prinsip.