Upayakan Pasar Pengganti Respons Tarif Trump

Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah (kiri).-Foto: Antara-

BACA JUGA:Rekayasa Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu

Oleh karenanya, menurut dia, pemerintah RI harus membawa bekal yang lebih menjanjikan dalam proses negosiasi tersebut seperti poin yang ditekankan, yakni memungkinkan adanya perusahaan Indonesia melakukan aktivitas manufaktur di AS, selain tawaran untuk menurunkan tingkat defisitnya AS dalam perdagangan dengan Indonesia.

"Seperti terekam dalam data BPS, neraca dagang Indonesia dengan AS mencatat surplus 6,42 miliar dolar AS atau sekitar Rp104,9 triliun (kurs Rp 16.350 per dolar AS)," ungkapnya.

Secara bersamaan, dirinya menilai pemerintah RI juga harus mengupayakan jalan penyelesaian multilateral karena semua negara sedang disanksi oleh AS dengan pengenaan tarif perdagangan, sehingga memiliki kegelisahan yang sama.

BACA JUGA:Minta Kesejahteraan Jurnalis Diperhatikan Pemerintah

BACA JUGA:Kadin Perkuat Kolaborasi Riset Industri

Ibaratnya, sambung dia, AS sedang memusuhi semua negara, bahkan sekutunya sendiri seperti negara-negara di Eropa barat yang selama ini seiring dan sejalan.

Untuk itu, pemerintah RI bisa menggalang dukungan berbagai negara tersebut guna memperkuat kedudukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) sebagai kelembagaan yang sah dan adil untuk masalah perdagangan internasional.

Melalui perundingan multilateral, terutama di WTO atau kelembagaan multilateral lainnya seperti G20 minus AS, pemerintah dinilai bisa mengajak untuk membentuk komitmen kerja sama perdagangan internasional guna mendapatkan pasar baru atas produk-produk antarnegara yang tidak dapat masuk ke AS karena pengenaan tarif tinggi.

BACA JUGA:Siap Dukung Santri Ponpes Pandanaran Kuasai AI

BACA JUGA:Jangan Sampai Aspirasi

"Dengan demikian, semua negara tidak perlu khawatir sebab produk mereka mendapatkan pasar pengganti," tutur Said.

Sementara di dalam negeri, dia berharap pemerintah Indonesia bisa terus memperkuat ketahanan terutama pada sektor pangan, energi, dan moneter karena ketiga sektor tersebut banyak ditopang dari aktivitas impor dan pengaruh eksternal.

"Pemerintah perlu mempercepat program ketahanan pangan dan energi, serta menempuh berbagai pembayaran internasional dengan tidak hanya bertumpu pada dolar AS," ucap dia menambahkan. (ant)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan