Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

Ilustrasi pemilu nasional dan lokal dipisah setelah ada putusan MK-Foto : ANTARA-

Arie menyebut sistem partai yang sentralistis tidak kompatibel dengan model pemilu terpisah yang menuntut konsolidasi lintas tingkatan.

Karena itu, apabila tidak diiringi perubahan di internal parpol, pemisahan justru bisa menimbulkan ketimpangan representasi antara pusat dan daerah.

"Anda bisa bayangkan, partai itu sentralistis, sementara pemilu kalau dipilah, penyelenggaraannya jadi terpisah. Ini bukan pekerjaan yang mudah," kata dia.

Ia memandang keputusan MK sebagai bentuk eksperimen politik yang bisa menambah kompleksitas jika partai tidak siap menghadapi perubahan.

"Keputusan MK itu belum tentu nanti langsung memudahkan mereka mengkonsolidasi antara yang dikerjakan di daerah maupun di pusat," ucapnya.

Arie juga mengkritisi asumsi bahwa pemisahan waktu pemilu bakal efektif mendongkrak partisipasi pemilih.

Menurut dia, partisipasi tidak ditentukan oleh desain pemilu, akan tetapi oleh kekuatan hubungan antara pemilih dan para kontestan.

"Tidak ada korelasi positif pemisahan penyelenggaraan pemilu di daerah sama pusat itu akan mendongkrak partisipasi atau tidak. Tergantung kontestannya, tergantung pendirian politiknya," katanya.

Ia menambahkan, pemilih tidak akan tertarik hanya karena sistem berubah karena yang lebih penting adalah sejauh mana partai mampu menjalin kedekatan dan komunikasi dengan masyarakat.

MK, Kamis (26/06/2025), mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.

MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).

Menurut MK dalam pertimbangan hukum, desain penyelenggaraan pemilu selama ini mengakibatkan impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan tahapan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.

Dengan adanya perimpitan itu, tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu menjadi tak terelakkan.

Dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah menilai, kondisi yang demikian berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.

Hal lain yang disoroti MK dalam pertimbangan hukum, yaitu pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan