Penghambat Tol Pembangunan Nasional dengan Modus Mafia Tanah Dibidik Kejari Muba

Tersangka AM dengan gunakan rompi digiring untuk dilakukan penahanan-Foto : Dokumen Palpos-
BACA JUGA:Tragedi Lubuklinggau : Utang Tak Terbayar, Nyawa Melayang di Tangan Sahabat !
Upaya banding yang diajukan Pemkab Muba akhirnya dicabut tanpa alasan yang jelas, sehingga putusan PTUN menjadi inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Pada tahun 2024, ditetapkan perubahan lokasi trase tol dengan luas yang lebih besar.
HA kemudian mengajukan sanggahan terhadap dua bidang tanah seluas 34 hektare di Desa Peninggalan dan Simpang Tungkal, yang diklaim sebagai miliknya.
BACA JUGA:Tahanan Lapas Muara Enim Kabur Berhasil Ditangkap
BACA JUGA:Diduga Rugikan Pendapatan Daerah : PTBSS Ancam Pidanakan Petinggi RMK !
Namun, pihak BPN Muba menyatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah negara.
"HA bersama AM melakukan pemufakatan jahat dengan membuat dan menandatangani surat pengakuan fisik pemilikan lahan. Surat tersebut ditandatangani oleh Kepala Desa dan Kepala Dusun atas perintah dan intervensi Y, pejabat Pemkab Muba," beber Kajari Muba.
Surat pengakuan tersebut dijadikan dasar untuk mengajukan klaim ganti rugi lahan tol.
Namun, saat penyidik melakukan pengecekan ke lapangan, ternyata tanah yang diklaim HA adalah tanah negara dan bekas kawasan hutan.
Setelah dilakukan pemeriksaan intensif, penyidik Kejari Muba menetapkan HA dan AM sebagai tersangka.
AM langsung digiring menggunakan rompi tahanan untuk menjalani penahanan.
Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 9 juncto Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tentang pemufakatan jahat dalam perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
"Tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lain yang terlibat dalam kasus ini. Kami terus mendalami peran sejumlah pihak, termasuk pejabat Pemkab Muba yang diduga terlibat dalam pemufakatan ini," ujar Roy Riady.
Selain kasus ganti rugi lahan tol, penyidik juga menemukan bahwa HA selaku Direktur PT SMB telah menguasai dan mengelola kebun seluas lebih dari 900 hektare tanpa memiliki dokumen izin usaha perkebunan (IUP) maupun HGU.