Mengikuti Tren Viral Tanda Masalah Kurang Percaya Diri
Ilustrasi-Foto : ANTARA -
BACA JUGA:Sayur Terubus Dapat Mengobati Batuk Kering dan Mencegah Mata Silinder
Ia menambahkan bahwa individu dengan kebutuhan tinggi akan tantangan juga rentan terlibat dalam tren viral yang berbahaya. Misalnya, tantangan fisik yang ekstrem atau aksi merusak yang tersebar di media sosial.
"Dalam kasus ini, mereka bukan hanya mengejar kesenangan atau perhatian, tetapi ada kebutuhan mendalam untuk memvalidasi keberanian atau eksistensi diri mereka, yang bisa jadi merupakan indikasi masalah mental," kata Nina.
Mengikuti tren viral tanpa pertimbangan matang dapat membawa dampak buruk, baik bagi individu maupun lingkungan.
Nina menyoroti bahwa beberapa tren viral justru mengarahkan individu kepada tindakan merugikan, seperti merusak fasilitas umum atau melakukan aksi berbahaya yang dapat mencelakakan diri sendiri maupun orang lain.
"Pada beberapa kasus, tren viral menjadi medium bagi orang-orang dengan masalah sosial untuk mengekspresikan diri secara negatif. Ini tentu saja merugikan, baik bagi pelaku maupun masyarakat luas," ungkapnya.
Fenomena lain yang tidak kalah penting adalah kecanduan mengikuti tren viral. Nina menjelaskan bahwa jika seseorang terlalu sering terlibat dalam aktivitas semacam ini, mereka dapat menjadi ketergantungan.
Hal ini memengaruhi produktivitas mereka, seperti mengabaikan pekerjaan, sekolah, atau tanggung jawab lain demi mengejar tren yang sedang berlangsung.
"Ketika sudah masuk ke tahap kecanduan, bantuan profesional seperti psikolog klinis atau psikiater diperlukan untuk menghentikan kebiasaan tersebut. Kecanduan mengikuti tren viral dapat membawa dampak yang serius, baik secara fisik maupun mental," tegas Nina.
Bagi individu yang sudah kecanduan mengikuti tren viral, Nina menyarankan pendekatan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat.
Menurutnya, dukungan emosional dari keluarga atau teman dapat membantu seseorang menyadari dampak negatif dari perilaku mereka.
"Orang-orang terdekat perlu menunjukkan perhatian dan menyampaikan bahwa kebiasaan tersebut telah merugikan diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, bolos sekolah, kehilangan pekerjaan, atau bahkan membahayakan keselamatan. Dengan pendekatan yang tepat, mereka akan lebih terbuka untuk menerima bantuan profesional," paparnya.
Selain itu, Nina juga menekankan pentingnya komunikasi yang efektif dalam proses ini. "Gunakan pendekatan yang tidak menyalahkan.
Misalnya, daripada mengatakan 'Kamu terlalu sering ikut-ikutan,' lebih baik mengatakan, 'Kami khawatir karena kebiasaan ini memengaruhi kesehatan atau pekerjaanmu.' Dengan cara ini, mereka merasa didukung, bukan dihakimi," jelasnya.
Di era media sosial, literasi digital menjadi hal penting untuk membantu masyarakat, terutama generasi muda, agar lebih bijak dalam menghadapi fenomena tren viral.